Monday, 24 February 2014

konflik pasir indonesia-singapura, koruptor indonesia yang di lindungi oleh singapura!!

singapura alihkan isu. koruptor dengan isu usman harun

Hubungan dengan tetangga dekat bisa jadi lebih rawan konflik daripada hubungan dengan negara yang jauh. Hal ini tercermin dalam masalah hubungan Indonesia dengan Singapura akibat konflik pasir yang baru-baru ini terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan Singapura adalah dua negara tetangga paling dekat dan saling membutuhkan. Kedua negara memiliki hubungan harmonis, terutama pada era Suharto. Hal ini tidak lepas dari peran mantan presiden Suharto yang di hadapan PM Lee memiliki kharisma, kualitas kepribadian yang diakui memegang peranan penting sebagai kekuatan tak nampak dalam hubungan diplomatik. Seiring dengan undurnya kedua mantan kepala pemerintahan senior itu diiringi dengan berbagai perkembangan yang mempengaruhi kedua negara, hubungan harmonis itu menurun kualitasnya. Konflik RI-Singapura, sekalipun masih dapat dinilai “cukup baik”, mengalami beberapa gangguan yang belum teratasi.

Konflik antara Indonesia dengan Singapura, terutama setelah reformasi, bukanlah yang pertama kali terjadi. Menoleh ke belakang, beberapa gangguan dalam hubungan diplomatik kedua negara ini dipicu oleh berbagai persoalan, seperti masalah “perang urat syaraf” antara mantan Presiden Habibie dengan mantan PM Lee Kuan Yew dan dilanjutkan dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, menyusul soal tuntutan RI soal perjanjian ekstradisi untuk pengembalian para penjahat ekonomi, masalah kabut asap dan terakhir sengketa pasir.
Kasus konflik pasir ini ironis, bahwa sebuah negara sangat kecil dapat mengancam keselamatan wilayah sebuah negara besar “hanya” dengan cara membeli seonggok demi seonggok sarana pembatas wilayah. Singapura menolak larangan tersebut karena, seperti yang dikatakan Menlu George Yeo, Indonesia tidak memiliki landasan untuk melarang ekspor pasir.
Merugikan Indonesia

Sengketa pasir berawal dari dilarangnya ekspor pasir Indonesia ke semua negara, termasuk ke Singapura. Larangan ekspor pasir yang dikeluarkan pemerintah ini sangat tepat, mengingat kerugian yang ditimbulkannya sangat mengancam keselamatan lingkungan dan eksistensi negara kita karena berubahnya peta wilayah RI. Pengerukan pasir yang terus menerus dapat mengakibatkan berbagai kerawanan lingkungan yang mengancam keselamatan penduduk Indonesia, terutama di daerah pesisir pantai.

Selama ini Singapura adalah salah satu pengimpor pasir terbesar dari Indonesia. Ini dilakukan sejalan dengan lajunya tingkat industri konstruksinya sehubungan dengan proyek reklamasi pantainya. Seperti yang dinyatakan oleh Inspektur Jendral TNI AL, Mayjend Mar Nono Sampono, akibat reklamasi besar-besaran tersebut, perbatasan kedua negara mengalami perubahan yang dampaknya sangat merugikan Indonesia. Reklamasi pantai-pantai di Singapura menyebabkan daratan negara kota itu bertambah 12 km ke arah perairan Indonesia, sedangkan wilayah perairan Indonesia berkurang 6 km. Jika tidak segera dihentikan, maka luas wilayah Indonesia akan terus berkurang dan Singapura akan memiliki daratan lebih luas daripada yang dimilikinya saat ini.
Tergerusnya wilayah perairan Indonesia diperparah dengan menyempitnya wilayah daratan Indonesia. Contohnya, beberapa pulau kecil di kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura tenggelam akibat eksplorasi pasir untuk memenuhi kebutuhan Singapura. Tindakan Singapura benar-benar menunjukkan sindrom negara kecil yang berbatasan dengan negara superluas seperti Indonesia. 

Penjualan pasir ini seharusnya sudah harus diantisipasi jauh-jauh hari dengan dikeluarkannya berbagai peraturan yang mencegah habisnya pasir Indonesia. Namun sayangnya upaya-upaya ke arah ini belum dilakukan karena bisnis pasir, baik legal maupun ilegal, melibatkan beberapa pihak yang mendapatkan keuntungan finansial. Ketidakjelasan perbatasan di pulau-pulau terluar Indonesia menyebabkan pihak-pihak tersebut secara sadar maupun tidak, menjual negara kepada pihak asing. Maka RUU Perbatasan Negara menjadi kebutuhan yang urgensinya sangat tinggi untuk segera disahkan, bukan saja untuk mengatasi masalah perbatasan dengan Singapura tetapi juga dengan negara-negara lain yang memiliki masalah perbatasan dengan Indonesia. Keputusan Indonesia menghentikan pejualan pasir Singapura ini merupakan salah satu cara untuk menekan Singapura agar negara itu bersedia menandatangani perjanjian perbatasan yang selama ini diabaikan oleh Singapura.

Tekanan lain
Faktor lain, seperti yang dikemukakan oleh Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Deplu, Primo Alui Joelianto, yang mendorong Indonesia menghentkan ekspor pasir ke Singapura adalah masalah ekstradisi. Telah diketahui bahwa selama ini Singapura selalu menolak menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan oleh Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi. Singapura merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara tersebut atas aset pihak asing.
Menghadapi tuntutan ini, Singapura menyatakan adalah tanggungjawab Indonesia untuk menyelesaiakan sendiri urusannnya dengan para koruptor tersebut. Indonesia menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura. Negara ini memetik keuntungan yang besar dengan masuknya “uang haram” yang dilarikan oleh para koruptor itu. Memang benar bahwa korupsi adalah masalah internal Indonesia. Namun tanpa bantuan Singapura, sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdksi hukum negara kita. Ketidaksediaan Singapura untuk bekerjasama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi menganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara.

Jika hal ini tidak dicarikan jalan keluar, tidak menutup kemungkinan dapat menjurus ke krisis hubungan bertetangga. Mampukan ASEAN menyelesaiakn masalah ini? kemampuan organisasi regional ini diragukan karena terbatasnya mekanisme penyelesaian konflik yang dimilikinya.

sepenggal catatan sejarah dari usman harun

Kuku Usman-Harun Dicabut Agar Mengaku Eksekutor Bom

Saksi perjalanan hidup prajurit KKO Usman-Harun menuju tiang gantungan di Singapura, Herman Thio mengatakan, pada saat dipenjara, keduanya mendapatkan siksaan yang sangat berat sehingga akhirnya mengaku sebagai pelaku pengeboman di Orchad.

Usman dan Harun mengaku melakukan pengeboman di gedung MDH,  setelah tidak tahan disiksa polisi Singapura. Jika mereka tidak mengaku, tambah Herman, polisi Singapura tidak akan tahu sampai saat ini karena tidak ada bukti.
Sementara ia yang juga bertugas melawan Singapura, tidak pernah mengaku walaupun disiksa seberat apapun. Akhirnya ia dibebaskan karena tidak ada bukti apapun.
"Usman dan Harus setelah mengaku yang melakukan pengeboman di gedung MDH, keduanya mendapatkan fasilitas yang enak-enak. Berbeda saat sebelum mengaku, sebelumnya keduanya disiksa habis-habisan. Sama dengan saya, selain ditelanjangi, juga dipaksa duduk diatas es batu tanpa sehelai pakaian yang menempel di badan. Polisi Singapura menyiksanya tidak tanggung-tanggung, sebelum mengaku seluruh jari kuku-kuku ditusuk dengan jarum. Badan dipukul lebih dari binatang,"kenang Herman.
Setelah keduanya mengaku karena sudah tidak tahan, turut Herman, Usman dan Harun mendapatkan fasilitas yang enak-enak. Makan dan rokok tidak pernah terlambat. Bahkan apapun yang diminta selalu dipenuhi.
"Tiga hari sebelum tiba waktunya saya dihukum gantung, saya kembali ditanya oleh Polisi Singapura. Tapi sebelumnya saya sudah habis-habisan disiksa, saya tidak mengaku sebagai pejuang RI. Terakhir saat ditanya itu, saya mengaku keberatan akan dihukum gantung. Saya mengaku bukan warga negara Singapura, saya mengaku lahir di Tanjung Batu. Akhirnya Polisi Singapura itu memeriksa ke Tanjung Batu tempat kelahiran saya, setelah ditemukan keluarga saya di Tanjung Batu, akhirnya saya tidak jadi di hukum gantung. Saya dikembalikan ke Malaysia karena tidak terbukti bersalah,"ungkap Herman.
Sehari sebelum dikembalikan ke Malaysia, ingat Herman, Usaman dan Harun sempat menitipkan satu pucuk surat untuk keluarganya di Indonesia. Surat tersebut tidak jadi diberikan kekeluarganya, karena saat akan dikirim ke Malaysia satu helaipun pakaian nya tidak diperbolehkan dibawa oleh polisi Singapura.
"Surat yang dititipkan Usman dan Harun itu, saya simpan dalam jahitan baju yang saya pakai. Ternyata baju yang saya pakai itu tidak boleh dibawa, baju yang boleh dibawa, baju yang sudah dipersiapkan Polisi Singapura. Tinggal lah surat itu dalam jahitan baju itu, entah masih ada baju itu disimpan pemerintah Singapura, kalau masih ada, tentu bisa kita baca isi surat itu,"ungkap Herman.
Setelah sampai di Malaysia, ia bersama ribuan sukarelawan Indonesia yang membantu Malaysia dijemput oleh pemerintah Indonesia menggunakan kapal perang buatan Tokyo, Jepang. Setelah sampai di Tanjung Priok, Jakarta, kata Herman, ribuan sukeralawan RI kalau itu disambut oleh Ibu Tien Soeharto. Saat Itu Presiden RI, Soeharto sedang melakukan perundingan dengan pejabat tertinggi pemerintah Singapura, Lee Kuan Yew di Tokyo.
"Entah bagaimana, perundingan untuk pembebasan Usman dan Harun itu gagal. Akhirnya beberapa bulan saya bebas, terdengar kabar dua KKO RI, Usman dan Harun dieksekusi dengan cara di gantung. Mendengar kabar itu, seluruh KKO di Indonesia sudah siap-siap melakukan perlawanan ke Singapura. Markas di Pulau Sambu tempat keduanya berangkat pun juga sudah siaga penuh untuk berangkat ke Singapura. Tapi tidak jadi, Soeharto cepat datang dari Tokyo menghentikan perlawanan KKO. Kalau tidak cepat turun, mungkin Singapura tidak seperti sekarang ini,"ungkap Herman.
Terkait protes pemberian nama kapal perang baru KRI Usman-Harun yang akan melukai rakyat Singapura, terutama korban bom Mac Donald House (MDH), kata Herman, pemerintah Singapura sudah berlebihan. Pemerian nama kapal KRI TNI AL dengan nama Usman-Harun, tambahnya, sudah menjadi hak negara Indonesia untuk mengenang jasa para pahlawannya.
"Singapura terlalu berlebihan mengatur negara Indonesia, mentang-mentang uang pemerintah Singapura itu sudah banyak dimakan pejabat Indonesia. Tidak bisa seenaknya mengatur negara orang, yang punya negara Indonesia ini bukan pejabat-pejabat Indonesia yang sudah menerima uang pemerintah Singapura itu. Negara Indonesia ini yang punya raknyat Indonesia. Usman dan Harun itu gugur dalam melakukan tugas negara, bukan tugas pejabat negaranya. Keduanya pahlawan seluruh rakyat Indonesia,"pungkas Herman kepada Tribun.