Hubungan
dengan tetangga dekat bisa jadi lebih rawan konflik daripada hubungan
dengan negara yang jauh. Hal ini tercermin dalam masalah hubungan Indonesia dengan Singapura akibat konflik pasir yang baru-baru ini terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia
dan Singapura adalah dua negara tetangga paling dekat dan saling
membutuhkan. Kedua negara memiliki hubungan harmonis, terutama pada era
Suharto. Hal ini tidak lepas dari peran mantan presiden Suharto yang di
hadapan PM Lee memiliki kharisma, kualitas kepribadian yang diakui
memegang peranan penting sebagai kekuatan tak nampak dalam hubungan
diplomatik. Seiring dengan undurnya kedua mantan kepala pemerintahan
senior itu diiringi dengan berbagai perkembangan yang mempengaruhi kedua
negara, hubungan harmonis itu menurun kualitasnya. Konflik
RI-Singapura, sekalipun masih dapat dinilai “cukup baik”, mengalami
beberapa gangguan yang belum teratasi.
Konflik antara Indonesia
dengan Singapura, terutama setelah reformasi, bukanlah yang pertama
kali terjadi. Menoleh ke belakang, beberapa gangguan dalam hubungan
diplomatik kedua negara ini dipicu oleh berbagai persoalan, seperti
masalah “perang urat syaraf” antara mantan Presiden Habibie dengan
mantan PM Lee Kuan Yew dan dilanjutkan dengan mantan Presiden
Abdurrahman Wahid, menyusul soal tuntutan RI soal perjanjian ekstradisi
untuk pengembalian para penjahat ekonomi, masalah kabut asap dan
terakhir sengketa pasir.
Kasus
konflik pasir ini ironis, bahwa sebuah negara sangat kecil dapat
mengancam keselamatan wilayah sebuah negara besar “hanya” dengan cara
membeli seonggok demi seonggok sarana pembatas wilayah. Singapura
menolak larangan tersebut karena, seperti yang dikatakan Menlu George
Yeo, Indonesia tidak memiliki landasan untuk melarang ekspor pasir.
Merugikan Indonesia
Sengketa pasir berawal dari dilarangnya ekspor pasir Indonesia
ke semua negara, termasuk ke Singapura. Larangan ekspor pasir yang
dikeluarkan pemerintah ini sangat tepat, mengingat kerugian yang
ditimbulkannya sangat mengancam keselamatan lingkungan dan eksistensi
negara kita karena berubahnya peta wilayah RI. Pengerukan pasir yang
terus menerus dapat mengakibatkan berbagai kerawanan lingkungan yang
mengancam keselamatan penduduk Indonesia, terutama di daerah pesisir pantai.
Selama ini Singapura adalah salah satu pengimpor pasir terbesar dari Indonesia.
Ini dilakukan sejalan dengan lajunya tingkat industri konstruksinya
sehubungan dengan proyek reklamasi pantainya. Seperti yang dinyatakan
oleh Inspektur Jendral TNI AL, Mayjend Mar Nono Sampono, akibat
reklamasi besar-besaran tersebut, perbatasan kedua negara mengalami
perubahan yang dampaknya sangat merugikan Indonesia.
Reklamasi pantai-pantai di Singapura menyebabkan daratan negara kota
itu bertambah 12 km ke arah perairan Indonesia, sedangkan wilayah
perairan Indonesia berkurang 6 km. Jika tidak segera dihentikan, maka
luas wilayah Indonesia akan terus berkurang dan Singapura akan memiliki
daratan lebih luas daripada yang dimilikinya saat ini.
Tergerusnya wilayah perairan Indonesia diperparah dengan menyempitnya wilayah daratan Indonesia.
Contohnya, beberapa pulau kecil di kepulauan Riau yang berbatasan
dengan Singapura tenggelam akibat eksplorasi pasir untuk memenuhi
kebutuhan Singapura. Tindakan Singapura benar-benar menunjukkan sindrom
negara kecil yang berbatasan dengan negara superluas seperti Indonesia.
Penjualan
pasir ini seharusnya sudah harus diantisipasi jauh-jauh hari dengan
dikeluarkannya berbagai peraturan yang mencegah habisnya pasir Indonesia. Namun sayangnya upaya-upaya ke arah ini belum dilakukan karena bisnis pasir, baik legal maupun ilegal, melibatkan beberapa pihak yang mendapatkan keuntungan finansial. Ketidakjelasan perbatasan di pulau-pulau terluar Indonesia
menyebabkan pihak-pihak tersebut secara sadar maupun tidak, menjual
negara kepada pihak asing. Maka RUU Perbatasan Negara menjadi kebutuhan
yang urgensinya sangat tinggi untuk segera disahkan, bukan saja untuk
mengatasi masalah perbatasan dengan Singapura tetapi juga dengan
negara-negara lain yang memiliki masalah perbatasan dengan Indonesia. Keputusan Indonesia
menghentikan pejualan pasir Singapura ini merupakan salah satu cara
untuk menekan Singapura agar negara itu bersedia menandatangani
perjanjian perbatasan yang selama ini diabaikan oleh Singapura.
Tekanan lain
Faktor lain, seperti yang dikemukakan oleh Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Deplu, Primo Alui Joelianto, yang mendorong Indonesia
menghentkan ekspor pasir ke Singapura adalah masalah ekstradisi. Telah
diketahui bahwa selama ini Singapura selalu menolak menandatangani
perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan oleh Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi. Singapura merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara tersebut atas aset pihak asing.
Menghadapi tuntutan ini, Singapura menyatakan adalah tanggungjawab Indonesia untuk menyelesaiakan sendiri urusannnya dengan para koruptor tersebut. Indonesia
menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan
simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura.
Negara ini memetik keuntungan yang besar dengan masuknya “uang haram”
yang dilarikan oleh para koruptor itu. Memang benar bahwa korupsi adalah
masalah internal Indonesia. Namun tanpa bantuan Singapura, sistem hukum Indonesia
tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di
luar batas yurisdksi hukum negara kita. Ketidaksediaan Singapura untuk
bekerjasama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi menganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara.
No comments:
Post a Comment