Friday 28 March 2014

catatan sejarah seorang pahlawan dari tanah papua..!!!!


Pemerintah menetapkan dua tokoh sebagai pahlawan nasional. Dua tokoh yang ditetapkan yakni DR Johannes Leimena dari Maluku dan Johannes Abraham (JA) Dimara dari Papua. Siapak Dimara. Rupanya banyak yang tidak tahu. Pahlawan nasional Johane Abraham Dimara lahir di desa Korem Biak Utara pada tanggal 16 April 1916. Dia adalah putra dari Kepala Kampung Wiliam Dimara. Ketika mulai beranjak besar (13 tahun), ketika masih disekolah desa, dirinya diangkat anak oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi dan dibawa kekota Ambon.

Anak Biak yang tumbuh cepat dengan postur atletis ini mulai masuk agama Kristen dan diberi nama Johanes Abraham. Nama kecilnya Arabel berganti Anis (dari Johanes) Papua (berasal dari Irian). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Dimara pada tahun 1930. Selanjutnya masuk sekolah pertanian dan selesai tahun 1935.

Sesuai dengan pendidikannya pada sekolah Injil yang dilakukannya setelah tahun 1935 (saat itu usianya mendekati 20 tahun), dirinya kemudian menjadi tokoh dalam profesi nya lebih lanjut yaitu guru agama Kristen. Dia menjadi guru penginjil di kecamatan Leksula, Maluku Tengah . Tepatnya di pulau Buru. Ketika zaman Jepang tiba, Dimara masuk menjadi anggota Heiho. Ketika Indonesia merdeka, Dimara bekerja dipelabuhan Namlea Ambon. Pada suatu hari ditahun 1946, masuk kapal Sindoro berbendera Merah Putih. Sebenarnya ini adalah kapal yang membawa sejumlah Anggota ALRI asal suku Maluku dari Tegal. Maksudnya melakukan penyusupan di Ambon untuk memberitakan peristiwa Proklamasi dan tentu saja berjuang. Komandan pasukan ini adalah Kapten Ibrahim Saleh dan jurumudi Yos Sudarso (kemudian jadi Laksamana dan gugur di laut Aru). Dimara sebagai anggota polisi, ditugaskan untuk meneliti kapal RI ini. Maka terjadi pembicaraan diatas kapal, khususnya dengan Yos Sudarso.

Pihak RI minta bantuan agar kapal bias mendarat penuh. Merasa insting nasionalismenya bangkit, Dimara bersedia membantu. Tapi menganjurkan agar kapal didaratkan di Tanjung Nametek sekitar satu kilometer dari namlea. Selanjutnya Dimara membantu perjuangan RI. Sempat ditangkap dan dipenjara bersama para pejuang Indonesia lainnya. Tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan, bergabung dengan Batalyon Patimura APRIS dan ikut dalam penumpasan RMS. Pada suatu hari dalam kunjungan ke Makasar (sekitar tahun 1950-an), Presiden Soekarno menengok pasien di Rumah sakit Stella maris. Ketika itu Dimara sedang dirawat di Rumah sakit Stella Maris itu.

Itulah pertama kali Dimara bertemu Presiden RI. Tidak terasa waktu berjalan cepat dan tahun 60-an RI berjuang untuk mengembalikan Pulau Irian bagian barat kedalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dimara adalah salah seorang pejuang yang ikut dalam pembebasan Irian Barat. Dirinya adalah anggota OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat). Sungguh jasanya tidak kecil karena dalam operasi di Kaimana, dia sempat ditangkap dan terluka. Dimara adalah saksi hidup perjuangan RI didaerah timur dan pangkatnya Mayor TNI menjelang pensiun. Pada tahun 2000 dirinya ditemui Wapres Megawati dirumah kontrakan sederhanaya didaerah Slipi. Meskipun pernah menjadi anggota DPA, Dimara orang sederhana yang mencintai Tanah Air Indonesia dan Bendera Merah Putih. Pada tanggal 20 Oktober 2000, Johanes Dimara tutup usia.

tulisan ini jujur, dari saudarah jawa yang mencintai papua, karena kita satu indonesia

saatnya kita membangun papua, agar lebih maju dari biasanya, dengan program-program pro pribumi dan juga kesadaran sebagai anak bangsa.. untuk menjadikan daerah kita menjadi lebih maju...
 
- Provinsi Papua kini tengah membangun. Kemajuan pembangunannya pun dapat dirasakan dari pesatnya perkembangan sektor swasta seperti mal-mal yang dibangun di Manokwari, Sorong, dan Jayapura.
Dari tahun ke tahun, APBN dan APBD selalu bertambah. Uang negara yang masuk ke wilayah ujung Indonesia ini pada tahun 2012-2013 mencapai Rp 41 triliun.

"Jadi itu begitu besar dana itu. Sebenarnya hanya cara pengelolaannya masih banyak yang kurang ya," kata eks Kepala Kanwil DJP Papua dan Maluku, Singal Sihombing.
Sihombing yang pernah bertugas pada tahun 2010 ini mengaku potensi Papua sangat besar. Perputaran modal di kalangan swasta sangat pesat.

"Itu besar sekali (modal yang berputar), pesat sekali pembangunannya. Yang dulunya kami datang tahun 2010 tidak ada. Pada tahun saat pindah 2013 awal, pertambahan-pertambahan mal itu maupun hotel yang besar sangat pesat," ujarnya.

Meski pembangunan sudah perlahan-lahan maju, namun menurut Sihombing, infrastruktur di Papua masih sulit. Hal itu dikarenakan kontur tanah di Papua yang berbukit-bukit hingga untuk sampai ke satu wilayah harus ditempuh dengan menggunakan transportasi udara.
"Pembangunan jalan sangat sulit karena daerahnya berbukit. Jadi sulit sekali sehingga harus ditempuh dengan pesawat. Itu kesulitan yang mereka alami. Karena dia harus melalui pesawat tidak bisa melalui darat. Itu yang membuat mereka kesulitan," ungkapnya

Monday 17 March 2014

papau dengan pon.. buktikan bahwa papua maju , selamat pon untuk papua

Delegasi Provinsi Papua saat mendaftar menjadi tuan rumah penyelenggaraan PON 2020. | ANTARA  Provinsi Papua memperoleh suara terbanyak dalam pemungutan suara calon tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) XX/2020 dengan meraih 66 suara pada Rapat Anggota Tahunan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) 2014 di Jakarta beberapa waktu lalu.
Setelah Papua, Bali dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan dua provinsi lain yang masuk tiga besar calon tuan rumah PON XX/2020 dengan perolehan suara yang sama, yaitu masing-masing 46 suara.
“Papua siap menjadi tuan rumah PON XX. Apabila Papua menjadi tuan rumah, maka akomodasi, konsumsi dan transportasi lokal akan gratis,” ujar Gubernur Papua, Lukas Enembe sebelum pemungutan suara dilakukan.
Hal tersebut, lanjut Lukas, dibuktikan dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama yang isinya seluruh akomodasi, konsumsi dan transportasi lokal tidak akan dikenakan biaya dan ditandatangani oleh provinsi pendukung lainnya.
Lukas mengatakan Papua memiliki kekayaan alam yang belum diketahui secara nasional, oleh karena itu PON XX/2020 bisa menjadi perantara agar keindahan Papua dikenal oleh masyarakat Indonesia maupun dunia internasional.
“Papua memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Silakan para atlet dan tim pendukungnya datang ke Papua. Kami siap menjamu kehadiran kalian,” kata Lukas.
Menurut Lukas, sarana dan prasarana olahraga untuk penyelenggaraan PON XX direncanakan berada di Kota Jayapura dan tersebar di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura, Timika, Merauke, Biak, dan Jaya Wijaya.
“Saat ini sarana olahraga yang tersedia siap dan dipergunakan mencapai kurang lebih 60 persen, dan delapan sarana tambahan dibutuhkan untuk melengkapi 100 persen kebutuhan penyelenggaraan pertandingan,” pungkasnya. [ANTARA]

Saturday 8 March 2014

menanti kapal induk soekarno

mungkin kah kita bangsa indonesia ini dpat membuat kapal induk. misalnya kapal induk soekarno Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS Safan Badri mengusulkan pada Panglima TNI, agar dalam pemberian nama kapal perang TNI AL dari produksi dalam negeri ke depannya dapat menggunakan nama mantan Presiden RI HM Soeharto dan KH Abdurahman Wahid (Gus Dur).

"Saya hanya sekadar menyampaikan aspirasi dari beberapa kelompok masyarakat, yang terinspirasi  atas peresmian Kapal Selam di Surabaya dan dua  Kapal Cepat Rudal (KCR) Clurit dan KRI Kujang 642 buatan dalam negeri, di Batam, masyarakat menanyakan apakah mungkin dalam KRI berikutnya,dapat diberi nama KRI HM Soeharto dan KRI  Gus Dur," ujar Safan Badri dalam raker dengan Panglima TNI di Komisi I, Rabu (29/2).

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq juga mengusulkan nama KH Agus Salim pada KRI berikutnya.

Merespon atas dua usulan tersebut, Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono mengatakan, penggunaan nama HM Soeharto dan Gus Dur, TNI AL selalu melihat kebesaran nama dengan kondisi Kapal yang di beri nama.

"Artinya, kebesaran Gus Dur dan kebesaran Pak Harto harus sesuai dengan nama kapal yang diberi nama tersebut. Oleh karena itu, kami masih menunggu kapal yang sesui untuk diberi nama Gus Dur maupun Pak Harto," ujar Panglima TNI.

Bahkan, kata Panglima TNI, pihaknya masih menyimpan satu nama, yaitu KRI Sudirman. "Kami masih menunggu akan kehadiran KRI yang besar untuk diberi nama itu, agar kebesaran kapal itu sesuai dengan kebesaran nama Panglima Jendral Sudirman," ujarnya.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR lainnya dari PDI-P Sudarto Danu Subroto kembali interupsi pada pimpinan rapat, untuk menayakan kapan pemberian KRI dengan menggunakan nama Soekarno. "Sudah ada bayangan, kapan ada KRI dengan Nama Soekarno?" ujarnya.

Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menimpali, nama KRI Soekarno akan diberikan setelah TNI AL punya kapal Induk. " Ya nanti, kita tunggu sampai kita punya kapal Induk sendiri," tegasnya

Monday 3 March 2014

marilah kita lebih bijak.. indonesia lebih baik dari ausie.. yang tidak menghormati suku aboriginya..

Benarkah Australia dan Singapura itu “Ujung Tombak” Kolonialisme di Indonesia? (1)
Jika mempeta (mapping) Indonesia dari perspektif politik dan keamanan, niscaya akan muncul tiga wilayah “merah” atau masuk kategori rawan, antara lain Aceh, Maluku dan Papua. Kendati ada beberapa daerah lain juga sering bergolak, tetapi bukan faktor ideologis, hanya sebatas anarkhisme massa ketika unjuk rasa, tawur antar kampung, dll sifatnya kasuistis, sporadis dan temporary.

Menyimak latar belakang ketiga daerah tadi ---meskipun tidak plek benar--- agaknya mapping tersebut hampir mirip kebijakan Cina menyikapi “merah”-nya Xinjiang, Tibet, Mongolia, dll. Dalam konteks ini, kemiripan kerawanan daerah-daerah di kedua negara, lebih diakibatkan gejolak politik masa lalu. Ada sisa api pergolakan segolongan warga terhadap negara, maka jika diibaratkan bara dalam tumpukan jerami, ia dapat menyala kembali bila “angin” bertiup signifikan, dan sesekali akan meletus dalam ujud terorisme, konflik komunal, serta lainnya.
 
Wilayah Merah, Naga dan Panda
 
Tak boleh dipungkiri, sekarang ini terlihat perbedaan cara (how to manage) antara Indonesia dan Cina dalam mengelola konflik di internal negeri. Apa boleh buat. Cina masih gunakan cara represif untuk menanggulangi kaum ekstrimis, berbeda dengan Indonesia yang tak lagi memakai cara tersebut, bahkan kini lebih mengkedepankan pola persuasif, prosperity approach, diplomatif, dll meski penegakkan hukum dan tindakan polisional oleh militer masih diterapkan, tetapi tidak semata-mata, artinya tindakan agak keras dilakukan sesuai intensitas situasi yang berkembang.
 
Sekilas membahas Cina. Tak bisa dielak, bahwa kebijakan (internal) di negeri Tirai Bambu memakai pendekatan “naga” (tegas), lagi cenderung keras tanpa kompromi. Contoh tindakan super represif di Tianamen dulu, atau sanksi tembak mati bagi koruptor, dll bahkan peluru eksekutor pun dibebankan pihak keluarga. Hal ini sangat berbeda jauh dengan pidana di republik ini, manakala para koruptor bahkan seorang bandar narkoba pun bisa menghirup remisi. Sungguh bertolak belakang.
 
Masih tentang Cina, untuk kebijakan keluar (eksternal)-nya menggunakan “panda” (simpati, tebar uang, investasi, dll) sehingga melalui cara tersebut ia menuai banyak empati negara-negara. Tak dapat dipungkiri memang, Cina lebih populer ---kemungkinan--- karena faktor “panda” daripada kelompok negara Barat yang usil dengan pendekatan ideologis via paket DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan).
 
Maka pantaslah bila jauh-jauh hari, Timor Leste bersikap welcome kepada Cina di wilayahnya. Tak kurang, Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan Timor Leste, Xanana Gusmao menyatakan, pihaknya terbuka bagi kehadiran armada Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat Cina.
 
Saya teringat sewaktu ke Timor Leste dekade 2009-an dulu, pasca berpisah dengan NKRI, rakyat kalangan bawah bukannya bertambah baik tetapi dalam banyak hal justru semakin terpuruk. Saya mengira, kondisi ini hanya dirasakan oleh rakyat bawah, sedang elitnya berpesta pora. Ketika survey non formal menginjak ke tataran elit, ternyata sama saja. Anekdotnya: jika bergabung dengan Indonesia masih fifty-fifty, sepiring berdua; dengan Portugis diambil sak piringnya; dengan Aussie lebih parah lagi, diambil semua sak rak-rak piringnya!
 
Maka merujuk sikap welcome-nya Timor Leste terhadap Cina, apakah pendekatan “panda” selama ini dianggap lebih unggul serta dapat diterima segenap elit dan rakyat Xanana daripada pendekatan tiga negara sebelumnya yang pernah dan sedang “mengelola” Timor Leste kini? Ini cuma retorika. Bila pun ada jawaban, simpan dahulu.
 
Kembali ke Tanah Air. Meski riak-riak politik pada ketiga daerah tidak lagi seheboh dulu, tetapi jenis kerawanan beralih kepada tuntutan yang lebih atas praktek-praktek demokrasi, tegaknya hukum, rasa keadilan, hak asasi manusia (HAM), ataupun menuntut perhatian lebih (khusus) dari pemerintah pusat.
 
Aceh misalnya, selain meminta penerapan syariah Islam, juga masih ada golongan warga ingin eksistensi bendera gerakan (GAM) dikibarkan. Demikian pula Papua, kendati telah menjadi Daerah Otonomi Khusus (Otsus), terdapat segelintir warga berafiliasi dengan asing berteriak soal Papua Merdeka, meski Nicolas Jouwe, sosok pendesain bendera Bintang Kejora telah menyadari kekeliruannya dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.  
 
Sementara untuk Maluku hampir-hampir tak menuntut apa-apa karena semakin kondusif. Ia cuma meminta prioritas dari sisi kerukunan antar umat beragama secara horizontal. Inilah mapping sekilas ketiga daerah “merah” di negeri tercinta ini.
 
Aussie = Polisi Asia Tenggara?
 
Entah semenjak kapan, “perhatian” Aussie kepada tiga daerah begitu rutin bahkan intens dilakukan. Mungkin sekedar asistensi, penelitian, capacity building, atau kegiatan lain. Maluku misalnya, setiap tahun dilaksanakan Darwin-Ambon Yacht Race, semacam lomba perahu layar yang bertolak dari Darwin ke Ambon. Kegiatan ini mendorong pertumbuhan industri kerajinan dan pariwisata di Maluku, khususnya Ambon dan sekitar. Ini terlihat semakin meningkatnya para peserta sail dari tahun ke tahun. Adalah keniscayaan jika ada linkage atau jalinan permanen antara Aussie dengan kelompok lokal atas nama Yacht Race. Sejauh mana pertalian mereka, rajutan masih belum terurai.   
 
Di Aceh lain lagi, digelarnya pertemuan antara pimpinan parlemen (DPR Aceh) dengan jajaran Kedutaan Aussie di Jakarta. Hal ini menarik dicermati, ketika pimpinan delegasi ialah Lauren Bain, Konselir bidang Politik dan Keamanan. Merujuk kelaziman diplomatik (pakem) Barat selama ini, bahwa konselir bidang politik biasanya agen intelijen yang ditanam di Kedutaan.
 
Dalam forum tersebut, Bain menanyakan masalah politik, ekonomi, perkembangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan lainnya. Poin yang menarik tatkala ia berkomitmen soal penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Inilah “titik” yang mutlak diwaspadai bersama. Betapa komitmen Aussie terkait HAM di Aceh, selain bisa diendus sebagai awal intervensi ke internal Indonesia, bukankah ia sendiri tengah didera persoalan HAM terkait tindakan diskriminasi terhadap Aborigin, suku asli Australia?
 
Dalam buku berjudul “Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran dan Keinginan (2013)”, Jouwe menyatakan, masyarakat Papua saat ini sudah dihormati Indonesia dibanding Aussie kepada Aborigin. Hingga saat ini, Aborigin tidak memiliki satupun anggota di parlemen Australia, sementara banyak orang Papua menjadi anggota parlemen baik pusat maupun daerah, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wakapolda Papua dll. Jika dibanding Aussie, justru ia lebih mundur penghormatannya kepada HAM daripada Indonesia.
 
Juga perihal keangkuhan Tony Abbott tidak mau meminta maaf secara resmi kepada Indonesia terkait penyadapan telpon beberapa petinggi republik ini, pertanyaannya menggelitik: apakah sikap Aussie hanya ingin pengakuan publik global seolah-olah dia “Polisi Asia Tenggara”, sebagaimana Pamam Sam mempersepsikan diri sebagai “Polisi Dunia”?