Didalam
perang konvensional, yang digunakan mesin mesin perangnya serta
perlengkapan prajurit serta dukungan logistik. Di era perang informasi,
bombardir- bombardi informasi akan membuat image yang dapat tertanam
dikawasan lawan dan melemahkan posisi moril lawan. Tehnik-tehnik semacam
ini sering kita istilahkan sebagai informasi imperalisme dalam strategi
perang informasi.
Kita bukan
mengingat mas lalu atas kekalahan Indonesia kepada Timor- Timur yang
sekarang menjadi negara Timor Leste, minimal hal ini sebagai
pembelajaran buat negara kita agar tidak menjadi keledai yang masuk
dalam lubang yang sama beberapa kali. Dulunya Xanana pernah mendekam di
dalam penjara, Cipinang, Jakarta sekarang menjadi perdana menteri yang
sebelumnya menjadi Presiden Timor Leste. Kalau kita mempunyai rasa malu,
pastinya sebagai warga negara Indonesia pasti merasa malu atau
dipermalukan. Sebelum Timor Leste Merdeka, dalam waktu yang cukup lama
negara Indonesia di bombardir informasi yang pada dasarnya membuat image
bahwa Indonesia adalah tidak lebih daripada sebuah negara penjajah di
Timor Timur.
Kalau melihat pengalaman
tersebut, tehnik counter will dalam perang informasi banyak dimainkan
secara cantik dan mulus oleh pihak barat melalui berbagai media massa,
termasuk berbagai Web Site Internet yang menyebarkan propaganda secara
sangat effisien ke semua orang yang bisa akses informasi. Disinilah,
Presiden Indonesia saat itu Habibi salah perhitungan dan berani
mengambil keputusan dengan melakukan jajak pendapat bagi rakyat Timor
Timur dan bukannya jajak pendapat secara Nasional.
Di
negara Indonesia, mungkin akan terjadi pada hal yang sama dengan kasus
lepas Timor Timur dengan secara mudah terjadi di beberapa wilayah
seperti Papua, Aceh dan lain-lainnya. Hal semacam ini, hanya mungkin
akan dimenangkan jika dari pihak tertekan dapat memainkan perananannya
secara cantik dan mulus di dunia informasi dengan mengandalkan permainan
image.
Sementara seorang pemikir Cina,
‘SunTsu”, dalam bukunya The Art of War menuliskan, tidak ada yang
istimewa dalam memenangkan ratusan pertempuran di dalam ratusan medan
perang. Tetapi, mengalahkan musuh tanpa melepaskan peluru dan bersimbah
darah itu baru istimewa. Hanya segelintir manusia yang mampu melakukan
hal ini dengan baik. Hal yang sama dikatakan ahli strategi perang,
Napoleon Bonapate, dirinya tidak takut dengan ribuan mesin perang
melainkan yang ditakutkan hanyalah sebuah pena.
Strategi dibidang perang informasi, kini telah mulai dimainkan
oleh negara-negara maju seperti Amerika, negara barat, Cina dan Jepang.
Perang informasi yang mereka lakukan lebih bersifat psychological
warfare (perang psychologi). Yang dapat berlangsung beberapa tahun
sebelum perang fisik dilakukan dan inipun jika dibutuhkan, dan jika
ternyata musuh dapat dikalahkan tanpa perang fisik maka segera
menghindar dari terjadinya perang fisik. Cukup dengan psychological
warfare.
Di era globalisasi, peluang
perang informasi sangat terbuka lebar, intinya hanya mereka yang mampu
memproduksi informasi serta pengetahuan dalam jumlah yang mewadahi di
segala media dengan demikian akan mudah mengalahkan pihak lawan. Perang
konvensional, invansi, penjajahan,dan serangan secara fisik kini tidak
lagi digunakan, melainkan secara pcichologi, sudut pandang, mental dan
lain-lain.
Contoh yang sederhana
misalnya, anak-anak Indonesia akan mudah mengenal dan bangga bila makan
di Mc Donald, KFC atau mendengarkan musik import dibandingkan dengan
makan nasi pecel dan mendengarkan musik jaipong, gamelan atau musik
dangdut. Anak baru gede (ABG) lebih senang menonton konsernya Madona
dibandingkan menonton konsernya Ikke Nurjanah. Dari contoh sederhana ini
saja sudah terlihat sekali bahwa sebuah image sudah tertanam baik baik
di benak anak anak indonesia secara evolusi.
Kalau
kita mau belajar pengusaan seni perang informasi yang sangat halus
melalui cuplikan surat dari James Madison yang ditujukan kepada Barry
pada Agustus 1822 berbunyi, pengetahuan dan penyebaran informasi menjadi
penting sekali bagi seseorang maupun pemerintah untuk survive, menang
dan tetap berada diatas serta populer diantara yang diperintahnya.
Kedewasaan, kelengkapan berargumentasi, berdebat dan transparansi dalam
suatu kebijakan akan sangat tercermin dari tingkat penguasaan
pengetahuan manusia yang berada di lembaga pemerintahan.
Dari
cuplikan surat tersebut kita reback ke negara kita, Indonesia dan apa
yang kita rasakan sekarang. Negara yang kita junjung tinggi ini
sepertinya pemerintahan yang lebih banyak mengandalkan mekanisme
kekuasaan, birokrasi yang bertele-tele, palak memalak, suap menyuap,
gaya katak, gusur menggusur dan lain lainnya daripada bertumpu pada
kemampuan sumber daya manusianya.
Padahal
kunci keberhasilan dalam melakukan manuver melalui perang informasi
sebetulnya tidak begitu banyak. Keberadaan massa sebagai sumber daya
manusia berkualitas yang mampu memproduksi pengetahuan dan
menyebarkannya ke publik melalui berbagai simpul simpul atau chanel yang
dapat mereka akses akan menjadi kunci utamanya. Melalui dunia
pendidikan, akan memperoreh sebuah sumber daya manusia berkualitas
menjadi sangat kritical sekali dalam keberhasilan suatu perang
informasi. Tentunya dengan keberadaan sebanyak mungkin dari simpul
simpul atau chanel untuk menyebarkan informasi sangatlah telak. Dengan
situasi Indonesia seperti saat ini, konsep media lokal, community
broadcasting, community media yang sifatnya swadaya masyarakat menjadi
penting artinya untuk suatu ketahanan nasional secara menyeluruh.
Tentunya,
proses ketahanan nasional saat ini tidak lagi bertumpu pada aparatnya
yang berbasis pada ideologi nasional seperti pada era orde baru, namun,
era sekarang telah bergeser pada keberadaan massa dengan sumber daya
manusia berkualitas yang difasilitasi oleh platfom media informasi untuk
melakukan manover informasi dan pengetahuan secara cepat, akurat serta
mudah di akses (Rs – 13).
No comments:
Post a Comment