|
di baik-baikin malah , ngajak berantem!!! |
KUPANG, suaramerdeka.com - Indonesia sebagai sebuah
negara berdaulat, wajib membangun persahabatan dalam wadah kerja sama
dengan negara-negara lain di dunia ini, namun tanpa membangun hubungan
kerja sama dengan Australia, Indonesia tidak mungkin akan kiamat juga.
Demikian
pandangan peraih penghargaan Justice Award 2013 dari Aliansi Pengacara
Australia (ALA) Ferdi Tanoni dan pengamat hukum internasional dari
Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa di Kupang, Kamis
(19/12), menanggapi pasang-surutnya hubungan RI-Australia
pascamerebaknya skandal penyadapan yang dilakukan Australia terhadap
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Wetan
Songa yang juga dosen hukum internasional pada Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana Kupang itu mengatakan Australia justru memiliki
ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Indonesia, karena posisi
Indonesia sangat strategis serta kaya dengan sumber daya alam yang
menjadi incaran negara-negara maju.
Tanoni yang juga mantan agen
imigrasi Kedubes Australia itu menambahkan imigran kulit putih yang
bermukim di Australia tidak sepenuhnya dikategorikan sebagai "European
Overseas" seperti "Chinese Overseas", meski mayoritas bangsa kulit putih
di Australia ini adalah keturunan Inggris.
"Mereka tidak mau
disebut sebagai orang Inggris, karena masih ada pendatang dari
negara-negara Eropa lainnya, seperti Italia, Jerman, Spanyol, Yunani,
Perancis, Yugoslavia dan lain-lain meski tidak dominan," kata Tanoni
yang sekitar 10 tahun lebih tinggal dan menetap di Canberra itu.
Tanoni
yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menambahkan
sebagai negara tetangga terdekat, Indonesia dan Australia perlu
meningkatkan kerja sama di segala bidang yang saling melengkapi dan
saling menguntungkan dalam kesetaraan.
"Namun, apa yang dilakukan
Australia terhadap Indonesia selama ini sejak Orde Baru di bawah
pemerintahan Presiden Soeharto, hanya menjadikan Indonesia sebagai
seorang sahabat yang bisa menuruti kehendak Australia. Rakyat kita
selalu menjadi korban dari hubungan persahabatan semu itu," katanya
menegaskan.
Wetan Songa kemudian mencontohkan perjanjian sejumlah
kerja sama di Laut Timor antara kedua negara yang hanya menguntungkan
Australia, dimana hampir 80 persen wilayah perairan Laut Timor di
antaranya dikuasai sepenuhnya oleh Australia.
Dalam hubungan
dengan itu, tambah Tanoni, posisi tawar Indonesia harus dinaikkan,
sekalipun Australia adalah bagian dari negara persemakmuran.
"Dunia
ini kan bukan saja Australia. Tanpa Australia pun Indonesia tidak akan
kiamat atau hancur seketika, karena masih banyak negara yang mau
membangun kerja sama dengan Indonesia," ujarnya.
Soal memutuskan
hubungan diplomatik dengan Australia, Tanoni dan Wetan Songa menyatakan
kurang sependapat, karena yang dipersalahkan dalam kasus ini adalah para
diplomat Indonesia yang tidak mampu membangun diplomasi dalam hubungan
antarbangsa.
Di bagian lainnya, Tanoni menegaskan pers dan media
massa di Australia, tidak memiliki dendam kesumat dengan Indonesia,
meski ada peristiwa bersejarah pada masa lalu yang membuat media
Australia berang dengan Indonesia terkait dengan pembunuhan lima orang
wartawan Australia di Balibo, Timor Timur atau yang lebih populer dengan
sebutan "Balibo Five".
"Persoalan utama dari kurang mesranya
hubungan Indonesia-Australia, karena fungsi dan tugas para diplomat
Indonesia di Australia, seperti Duta Besar Indonesia di Canberra serta
para Konsul dan Konsul Jenderal di Australia tidak memainkan perannya
secara maksimal dalam menggambarkan posisi Indonesia saat sekarang dan
yang akan datang secara terus-menerus kepada publik Australia," katanya.
Ia
menegaskan jika para diplomat Indonesia memainkan perannya secara
maksimal, mungkin saja skandal penyadapan terhadap Presiden Susilo
Bambang, Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono itu bisa saja tidak
terjadi.
Wetan Songa menambahkan setelah masanya Adam Malik dan
Moochtar Koesumaatmadja, langkah diplomasi Indonesia di dunia
internasional terasa begitu hambar dan tak lagi punya gigi dengan bukti
lepasnya Timor Timur dari NKRI melalui sebuah referendum yang
diselenggarakan PBB pada Agustus 1999.