Saturday, 30 November 2013

Aceh . daerah istimewah indonesia...!!!

 marilah saudarah ku actjeh bangun dengan kekuatan dan juga rasa takwa kepada Tuhan Yan Maha esa.

Ketika kediktatoran menjadi kenyataan, maka revolusi menjadi kebenaran”—anonymous. Kalimat-kalimat retorik itu selalu saya ulang beberapa kali saat membuka-buka kembali buku ‘zaman’ Kisah Para Diktator karya Jules Archer. Tapi saya tak pernah mencari celah untuk menghubung-hubungkan dengan kondisi Aceh terkini. Karena bagi saya, orang Aceh itu sudah cukup dewasa, sudah lama hidup dalam konflik, mereka tahu membedakan, mana yang patut dan mana yang tidak. Siapa yang disebut zalim, dan mana yang benar-benar alim. Sebab, orang Aceh selalu mencatat, tak hanya dalam hati tapi juga dalam memori. Siapa yang mendhalimi orang Aceh, dia akan diingat sebagai orang zalim.

Ah, sudahlah, terlalu panjang basa-basi, ntar salah lagi dimengerti. Kita tak hendak bicara makar. Saya sini ingin mengabarkan saja, sosok bersahaja yang kini dirindukan banyak orang sebagai pejuang sejati, karismatik dan rendah hati. Saya yakin semua orang Aceh tak lupa dengan nama ini; Teungku Abdullah Syafie. Mendengar namanya saja, orang Aceh akan ingat pada senyum ramahnya. Tutur katanya lembut, perhatiannya melebihi perhatian seorang tua pada anaknya.

Teungku Lah, demikian dia disapa, tak hanya mengajarkan prajuritnya cara berjuang dan istiqamah dalam perjuangan, melainkan juga bagaimana memperlakukan rakyat sebagai basis massa dan perisai tiada tara. Saya tak tahu apakah Teungku Lah membaca kisah Mao Tse Tung, yang mendidik pengikutnya saat melakukan long march yang hingga kini jadi materi ajar di sekolah-sekolah China?

Dalam suatu kesempatan, saat mengembangkan teknik-teknik perang gerilya, Mao mengajarkan pengikutnya. “Rakyat mirip dengan air,” nasehatnya. “Kita harus berenang di dalamnya seperti ikan. Pertama kali kita harus belajar dari massa dan kemudian mengajari mereka,” titahnya.

Dalam buku Kisah Para Diktator, saya sempat membaca, Mao menyandarkan perjuangannya pada petani sebagai pendukung, baik tempat persembunyian, suplai makanan maupun sebagai cadangan tentara. Soal ini, Mao berujar, “Peralatan bukan faktor penting di dalam perang. Yang penting adalah manusianya,” katanya.

Dari sejarah lisan yang beredar, termasuk pengalaman sendiri bertemu beberapa jam dengan Teungku Abdullah Syafie di sebuah tempat persembunyian, pertengahan 1999, saya jadi tahu betapa Teungku Lah sangat mencintai rakyat yang diperjuangkannya.

Meski tak gila hormat, semua rakyat sangat hormat padanya. Teungku Lah tak pernah merasa rendah jika harus duluan memberi salam kepada warga yang kebetulan berkumpul di Bale Jaga. Rakyat yang datang menemui, diterima dengan ramah. Mereka berbicara panjang lebar dan tertawa lepas bersama-sama. Jika kita tak mengenal Teungku Lah, kita sama sekali tak tahu bahwa orang yang cukup akrab dengan rakyat itu adalah Teungku Abdullah Syafie, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) sebelum kemudian berganti nama menjadi Teuntara Negara Aceh (TNA).

Teungku Lah tak hanya pandai bersiasat perang, melainkan juga sangat paham siasat politik. Boleh disebut, Teungku Lah adalah panglima GAM yang cukup ideal. Dicintai rakyat dan pasukannya. Dalam amanatnya berbahasa Aceh ketika meninjau markas GAM tersebut, Teungku Lah, menyatakan, “Masa telah berubah. Strategi perang secara militer sudah ketinggalan zaman. Sekarang, bangsa Aceh harus pintar mengurus masalah-masalah diplomasi di dunia internasional. Sekarang, perang yang paling berat adalah perang politik dan diplomasi.” [baca Mengenang Teungku Abdullah Syafie, Panglima Perang AGAM]

Teungku Lah seperti bisa memprediksi, bahwa suatu saat Aceh akan masuk dalam Perang Politik. Saat itu, pasti akan tuha adoe ngon aduen. Pengalaman Pilkada 2006 dan Pemilu Legislatif 2009, hanya beberapa contoh saja. Jika Teungku Lah masih hidup, tentu saja dia akan menangis, karena Aceh yang diperjuangkannya tak lebih baik. Pasukannya juga seperti lupa pada nasehat-nasehatnya.

Jangan sampai saya dengar ada Tentara Aceh Merdeka yang lebih kejam daripada tentara penjajah itu,” ujarnya seperti paham bahwa perilaku Tentara Negara Aceh belum sesuai dengan harapan Wali yang meminta agar berbaik-baik dengan rakyat.

Abdullah Syafie tak henti-henti mengajari pasukannya, agar bisa berterima kasih kepada rakyat yang telah mendukung perjuangan. “Pulang jasa keu bangsa Aceh. Bek gata krang ceukang. Dengon bangsa droe teuh, bah that tatheun talo bacut gata hana hina. Yang bek ta tem talo ngon musoh teuh bangsa penjajah,” ujarnya dalam Bahasa Aceh yang fasih.

Kalau ada di antara tentara Aceh Merdeka yang mengancam Bangsa Aceh, akan kami kenakan sanksi militer,” tegasnya bernada mengancam. Bekas pasukannya saya yakin masih mengingat kata-kata tersebut.

Tapi, sama seperti manusia lainnya, Teungku Abdullah tak bisa menolak takdir dan janji Tuhan. Bahwa, kematian adalah hal yang pasti. Namun, di ujung hidupnya, Teungku Lah, seperti bisa merasa bahwa kematiannya kian dekat. Teungku Lah yang tak pernah gila hormat itu, sepertinya tak ingin hidup lebih lama lagi. Teungku Lah seperti tak siap jika melihat pasukannya menyandarkan perjuangan pada materi semata, saat menang nantinya.

Teungku Lah seperti bisa membaca tanda-tanda. Saya tak tahu apakah beliau membaca karya-karya Naguib Mahfouz yang sebagian kata-kata indahnya terhimpun dalam buku Life’s Wisdom (2009), bahwa beban perang sebagian besar jatuh ke prajurit biasa…para pimpinan menempati posisi yang lebih aman, merencanakan dan memikirkan jalan keluar. Bahkan, tegas Naguib menyimpulkan, tangan yang dapat menghasilkan uang selama perang akan menghasilkan dua kali lipat pada saat damai.

Karena itu, Teungku mengingatkan Rakyat Aceh:
Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka”. [baca Pesan Terakhir Teungku Abdullah Syafie]

Itulah wasiat terakhir Panglima Gerakan Aceh Merdeka Abdullah Syafei yang tewas dalam kontak senjata di kawasan perbukitan Jimjiem, Kecamatan Bandarbaru, Kabupaten Pidie, Selasa (22/01/2001). Wasiat yang dibuat sebulan sebelum wafat, seolah firasat Syafei bahwa kematiannya memang telah dekat.[]

Panglima AGAM Dikasih Bedil, Aceh Jadi Debu

Hari Ahad, 6 Agustus 2000, Panglima Perang AGAM, Teungku Abdullah Syafiie, mengunjungi salah satu salah satu Markas GAM di pedalaman Kabupaten Pidie. Di markas yang berjarak beberapa kilometer dari perkampungan penduduk tersebut berkumpul sekitar 500 prajurit AGAM. “Sejak perjanjian Jeda Kemanusiaan diteken di Swiss 12 Mei lalu, semua Pasukan AGAM kawasan barat Pidie berkumpul di Markas ini,” kata seorang tokoh GAM di sana.

Tokoh AGAM yang menolak disebutkan identitasnya itu mengaku selama ini mereka menjalani latihan fisik dan pendalaman ajaran Islam, pengkajian ilmu politik, serta sejarah perjuangan bangsa-bangsa dunia melawan penjajahan.

Panglima Komando Pusat AGAM, Teungku Abdullah Syafiie, dalam amanatnya berbahasa Aceh ketika meninjau Markas GAM tersebut, antara lain, menyatakan, “Masa telah berubah. Strategi perang secara militer sudah ketinggalan zaman. Sekarang, Bangsa Aceh harus pintar mengurus masalah-masalah diplomasi di dunia internasional. Sekarang, perang yang paling berat adalah perang politik dan diplomasi.”

Sesama Bangsa Aceh, wejang Abdullah Syafiie kepada prajuritnya, kita harus benar-benar saling setia. Tentara Aceh Merdeka harus bersikap seperti tentara Islam. Jangan meniru sifat kaum penjajah. Jangan ambil contoh pada kaum imperialis dan kolonialis. “Jangan sampai saya dengar ada tentara Aceh Merdeka yang lebih kejam daripada tentara penjajah itu,” ujarnya mewanti-wanti.

Hari ini, kata Abdullah Syafiie, tentara AGAM mendapat dukungan penuh dari Rakyat Aceh. Baju yang mereka pakai milik Rakyat Aceh. Makanan pun diberikan oleh Rakyat Aceh. “Pulang jasa keu bangsa Aceh. Bek gata krang ceukang. Dengon bangsa droe teuh, bah that tatheun talo bacut gata hana hina. Yang bek ta tem talo ngon musoh teuh bangsa penjajah,” ujarnya dalam bahasa Aceh yang fasih.

Tentara AGAM, menurut Abdullah Syafiie, adalah anak-anak Rakyat Aceh. Oleh karena itu, ia minta jangan sampai jadi pengkhianat terhadap Rakyat Aceh. Jangan sampai ada tentara AGAM yang memarah-marahi masyarakat. “Kalau ada di antara tentara Aceh Merdeka yang mengancam Bangsa Aceh, akan kami kenakan sanksi militer,” tegasnya bernada mengancam.

Setiap tindakan pasukan AGAM, diingatkan juga harus mematuhi aturan-aturan perang, jangan sampai bertentangan dengan aturan perang (Hukum Humaniter Internasional) dan hak-hak asasi manusia. Hukum-hukum tersebut agar terus dipelajari, jangan sampai ada tentara AGAM yang melanggarnya. “Dengan tidak ada pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum tersebut, Insya Allah, Aceh akan segera Nerdeka,” katanya.

Sekarang, lanjut Abdullah Syafiie, bukan zamannya lagi kita berperang dengan senjata. Kita harus mampu memerdekakan Aceh melalui Perang Politik dan Diplomasi. “Dengan penandatangan JoU di Swiss, kemerdekaan sudah kita raih 50 persen,” simpulnya.

Pesan Terakhir Teungku Abdullah Syafie
Abdullah Syafiie mengatakan untuk sementara ini kepada pasukan AGAM tidak diberikan senjata. “Senjata akan diberikan kembali nanti setelah Aceh sudah merdeka, tujuannya untuk mempertahankan kemerdekaan. Kalau hari ini kami kasih senjata, nanti Negeri Aceh akan menjadi debu,” katanya.

Sekarang, kata Abdullah Syafiie melanjutkan, perjuangan untuk memerdekaan Aceh, 80 persen harus dilakukan melalui Politik dan Diplomasi. Hanya 20 persen boleh dengan kekuatan militer. “Itu pun jika dipandang perlu,” katanya.

Abdullah Syafiie mengharapkan seluruh tentara Aceh Merdeka agar sungguh-sungguh mempelajari hukum-hukum internasional. Tidak akan menang sebuah perang dengan hanya mengandalkan kekuatan militer. “Sebuah perang akan menang dengan kekuatan-kekuatan hukum, kekuatan politik, dan kekuatan diplomasi,” wejangnya. Walaupun demikian, ujar Abdullah Syafiie, jika perang secara militer terpaksa dilakukan, maka diingatkan tidak ada seorang pun tentara AGAM yang mundur dari medan pertempuran. “Akan tetapi, kalau memang dipandang perlu, bukan hanya kepada tentara laki-laki, kepada yang perempuan pun akan diberikan bedil,” katanya. Oleh karena itu, Abdullah Syafiie meminta kepada tentara AGAM agar tidak takut kalau sesewaktu dipanggil untuk berperang. “Sudah berapa banyak Bangsa Aceh ditangkap, dianiaya, dibunuh, dan diperkosa. Daripada berputih mata, lebih baik berputih tulang berkalang tanah,” ujarnya bersemangat.

Abdullah Syafiie sangat optimis bahwa Bangsa Aceh akan kembali merebut kemerdekaan. “Bangsa Aceh sanggup mengusir penjajah Belanda, kenapa yang lain tak sanggup?” tanya dia. “Coba lihat, bagaimana bangsa Vietnam sanggup mengalahkan Amerika. Begitu juga semangat jihad bangsa Afghanistan, sanggup mengalahkan negara raksasa Uni Soviet,” katanya menunjuk contoh.

Abdullah Syafiie mengakui bahwa dalam hukum internasional, Negara Aceh memang belum berdiri. Akan tetapi, dunia internasional, katanya, sudah memberikan perhatian terhadap perjuangan kemerdekaan Aceh. “Hari ini, ada bangsa Aceh sedang bersidang di Swiss membahas penentuan kemerdekaan bangsa Aceh,” katanya.

Kepada tentara AGAM yang selama ini mendapat pembinaan di markas-markas, Abdullah Syafiie mengingatkan supaya memiliki darah Islam yang pemberani. Menjadi penyuluh masyarakat. Menjadi tongkat dan cermin bagi masyarakat. “Pekerjaan yang baik tidak boleh berasal dari permulaan yang jelek,” ujarnya berfalsafah.

Pekerjaan Bangsa Aceh menegakkan kemerdekaan, menurut Syafiie, dilindungi oleh Hukum Internasional dan PBB. Ketentuan PBB yang dikeluarkan tahun 1946, mengharamkan penjajahan di atas muka bumi.

Tapi, sampai sekarang masih ada yang menjajah bangsa Aceh. “Penjajahan melanggar keamanan dunia,” tukasnya. “Setiap bangsa berhak atas kemerdekaan. Demikian disebutkan dalam Universal Declaration of Human Rights. Berdasarkan itu, kita nyatakan kepada masyarakat dunia internasional bahwa kita hendak berhukum dengan sistem hukum sendiri. Masyarakat internasional wajib menerima perjuangan kita karena keinginan kita ini sah,” papar Abdullah Syafiie.

Anak-anakku semua, jika kalian dengar saudara-saudara kalian sudah mati syahid, segera sambung perjuangannya sampai Aceh merdeka. Begitu juga kalau kalian dengar saya sudah mati syahid, lanjutkan perjuangan ini, pinta Abdullah Syafiie mengakhiri amanatnya.

Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka”.

Itulah wasiat terakhir Panglima Gerakan Aceh Merdeka Abdullah Syafei yang tewas dalam kontak senjata di kawasan perbukitan Jimjiem, Kecamatan Bandarbaru, Kabupaten Pidie, Selasa (22/01/2001). Wasiat yang dibuat sebulan silam, seolah firasat Syafei bahwa kematiannya memang telah dekat.

Namun, jauh sebelum Tengku Lah—begitu ia biasa disapa—tewas, ia telah menulis pesan agar kematiannya tidak ditangisi, apalagi diratapi. Sebab, perjuangan kemerdekaan negeri Aceh Sumatra belum tuntas dan kematian dirinya adalah syahid.

Tengku Lah adalah pemimpin sayap militer GAM yang sangat berpengaruh. Lebih dari 20 tahun ia memimpin gerilya GAM dari kawasan Bireun, yang dikenal sebagai markas GAM. Tengku Lah dikenal sebagai pribadi yang tegas dan sopan. Ia juga dikenal sangat santun dan bersahaja. Di mata aktivis GAM, Syafei adalah sosok yang humanis dan antikekerasan. Itulah sebabnya, berulang kali Syafie menegaskan bahwa perjuangan bersenjata tak lebih dari upaya mempertahankan diri dari serangan Tentara Nasional Indonesia.

Tengku Lah memang tak pernah dibesarkan dalam dunia kekerasan. Ia juga tak pernah mendapat pendidikan tempur di Libya, seperti yang diperoleh Muzakir Manaf, sosok yang diusung GAM menggantikan Syafei. Tengku Lah hanya seorang berkepribadian sederhana yang dilahirkan di Desa Matanggeulumpang Dua, 45 kilometer sebelah barat Lhokseumawe, Aceh Utara. Pendidikan terakhirnya hanya di Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Itu pun hanya sampai kelas tiga. Setelah itu, ia belajar ilmu agama di sejumlah pesantren.

Uniknya, masa muda Syafei ternyata lebih banyak dihabiskan dalam dunia teater bersama Grup Jeumpa. Ia kerap berperan sebagai wanita dalam setiap pementasan. Itulah sebabnya, sejak muda rambut Syafei selalu tergerai. Perkenalan Tengku Lah dengan dunia militer terjadi pada awal 1980-an. Ia bergabung bergabung dengan GAM kelompok Hasan Tiro. Meski begitu, keramahan dan kesantunan Syafei tak pudar. Ia terus menjalin komunikasi rakyat Aceh, yang memang sangat dekat dengan dirinya.

Sikap ramah, santun, dan hangat ini diperlihatkan ketika Syafei dengan begitu akrab bertemu dengan sejumlah komponen masyarakat dan wartawan. Sekretaris Kabinet di era Presiden Abdurrahman Wahid, Bondan Gunawan, dan artis Cut Keke adalah dua di antara tokoh yang pernah Syafei temui. Bahkan, ketika TNI mengklaim telah menembaknya hingga sekarat, Maret 2000, Syafei dengan santai malah mengundang reporter SCTV Jufri Alkatiri dan Yahdi Jamhur untuk sebuah wawancara di tengah Hutan Pasee. Dalam kesempatan itu, Tengku Lah juga mengundang wartawan Kompas Maruli Tobing untuk melihat kondisi terakhir Syafei yang saat itu ternyata dalam kondisi sehat walafiat.

Setiap gerak Syafei memang layak “disantap” pers. Ia dianggap tokoh penting untuk menyelesaikan konflik Aceh yang telah berlarut-larut dan berdarah-darah. Namun, sebelum Serambi Mekah aman dan kemerdekaan Aceh masih menjadi mimpi bagi sebagian anggota GAM, Tengku Lah keburu tewas. Ia meninggal begitu dramatis; bersama Fatimah, istrinya yang tengah mengandung enam bulan, dalam keyakinan menjadi syahid

No comments:

Post a Comment