Hari
ini, 22 Oktober, 67 tahun lalu PBNU menyerukan RESOLUSI JIHAD di
Surabaya menyikapi perkembangan situasi yang menunjukkan gelagat bakal
berkuasa kembalinya penjajah Belanda melalui pemerintahan yang disebut
NICA. Pada awal Oktober 1945, tentara Jepang di Semarang dan Bandung
yang sudah dilucuti rakyat merebut kembali kota Semarang dan Bandung
yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkan kepada
Inggris. Pemerintah RI menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan dan
mengharapkan penyelesaian kasus itu secara diplomatik. Pemerintah RI
bahkan menerima saja ketika melihat bendera Belanda dikibarkan di
Jakarta. Tindakan Jepang yang menguntungkan Inggris itu membuat marah
para pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU.
Kecurigaan terhadap orang-orang sosialis yang tergabung dalam PRI
melakukan operasi sepihak menyelamatkan orang-orang Belanda, tanggal 10 –
11 Oktober 1945 ketika PRI menggeledah kantor RAPWI dan perumahan Eropa
sudah tersiar kabar bahwa ditemukan banyak bukti tentang rencana
serangan, perangkat radio, peta sistem komunikasi, instruksi dari
pemerintah NICA di Australia. Suasana di Surabaya pun memanas. Lalu
dengan alasan untuk menghindari aksi massa, tanggal 15 Oktober 1945
sekitar 3500 orang Belanda dan Indo Belanda yang sudah dilepas dari
interniran Jepang, diam-diam oleh PRI dinaikkan truk-truk dan dibawa
ke penjara Kalisosok (werfstraat) untuk ditahan serta ditempatkan di
sejumlah tempat yang aman. Sebagian truk yang membawa para tawanan itu
kemudian dihadang massa di depan markas PRI di Simpang Club dan para
tawanan itu dihakimi massa secara brutal.
Kabar bakal
mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA makin keras terdengar
di tengah penduduk Surabaya yang dicekam kemarahan ditambah
pidato-pidato Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan mulai mengudara. Atas
dasar berbagai pertimbangan PBNU mengundang konsul-konsul NU di seluruh
Jawa dan Madura agar hadir pada 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di
Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Malam hari tanggal 22 Oktober 1945, Rais
Akbar KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah
tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad
mempertahankan tanah air dan bangsanya. Rapat PBNU yang dipimpin Ketua
Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan
dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”,
yang isinya sebagai berikut:
“Berperang menolak dan
melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh
tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata
ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat
masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear
djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang
tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”
Inilah seruan Jihad yang secara syar’i disepakati para ulama dengan
maksud utama membela Negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD
1945 dari serangan bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa
Indonesia. Penduduk Surabaya yang sudah panas pun tambah terbakar
semangatnya karena amarah mereka terhadap musuh memperoleh legitimasi
Jihad dari ulama, sehingga mati pun dalam keadaan membela kedaulatan
Negara Indonesia akan beroleh balasan surga. Demikianlah, sejak tanggal
22 Oktober 1945 itu seluruh penduduk bersiaga perang menunggu pendaratan
tentara Inggris yang kabarnya sudah tersiar sejak pekan kedua Oktober
1945. Pidato-pidato Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan yang ditandai
teriakan Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar pun makin mengobarkan
semangat perjuangan semua penduduk Jawa Timur dari kalangan pemimpin
setingkat gubernur, Menteri Pertahanan, Walikota hingga ke warga
kampung.
Seruan untuk berjihad fii sabilillah
inilah yang menjadi pemicu perang massa (Tawuran Massal) pada tanggal
27, 28, 29 Oktober 1945 – saat arek-arek Surabaya yang dibakar semangat
jihad menyerang Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal
Aulbertin Walter Sothern Mallaby – yang mengakibatkan tewasnya lebih
dari 2000 orang pasukan kebanggaan Inggris, termasuk Brigadir Jenderal
A.W.S. Mallaby yang tewas akibat dilempar granat.
Perang Massa (Tawuran Massal) tanpa komando yang berlangsung selama
tiga hari yang mengakibatkan kematian Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby
itulah yang memicu kemarahan Inggris yang berujung pada pecahnya
pertempuran besar Surabaya 10 November 1945 yang setiap tahun
diperingati sebagai Hari Pahlawan. Sayang sekali, fakta sejarah tentang
Resolusi Jihad NU dan Perang Massa (Tawurang Massal) tiga hari itu
diam-diam tidak disinggung dalam penulisan sejarah seputar peristiwa
pertempuran 10 November 1945 yang dikenang oleh Inggris dengan satu
kalimat: “Once and Forever”, bahkan belakangan peristiwa itu
disingkirkan dari fakta sejarah seolah-olah tidak pernah terjadi - See
No comments:
Post a Comment