sadap australia , usir duta besarnya. dari indonesia. , tuntutan ini yang sering kita dengar dan juga kita baca dari beberapa media. provokasi yang di lakukan oleh australia harusnya menjadi pelajaran bagi kita. bahwa kita secara teknologi masih kalah.
terutama dalam bidang teknologi komunikasi, karena banyak anak-anak muda yang pintar dan berbakat tidak di opene oleh negara . sehingga hal ini menimbulkan sikap apatis terhadap pemerintah
Terbongkarnya skandal penyadapan terhadap Presiden, Ibu Negara, dan
sejumlah menteri membuat hubungan Indonesia-Australia kembali mengalami
ketegangan. Sebuah situasi yang sebenarnya sangat disayangkan ketika
dua negara ini sedang berada dalam hangatnya persahabatan sebagai
tetangga.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik
menjadi presiden, Canberra menunjukkan iktikad baiknya dengan kehadiran
Perdana Menteri John Howard di acara pelantikan, suatu tradisi baru
yang positif. Presiden SBY pun diundang untuk berbicara di Parlemen
Australia, sebuah undangan yang sangat terhormat dari sedikit kepala
negara terpilih yang pernah diundang pada era pertama pemerintahan Kevin
Rudd.
Ketika PM Julia Gillard terpilih, ia pun memilih Indonesia
sebagai negara yang pertama ia kunjungi sebagai kepala pemerintahan.
Dan, tradisi inipun dilanjutkan oleh penerusnya yakni perdana menteri
yang baru, Tony Abbot, baru-baru ini. Dapat dikatakan bahwa pemerintahan
SBY saat ini adalah pemerintah yang paling dekat hubungannya dengan
Australia sejak era Paul Ketting dan Pak Harto.
Namun, hubungan
tersebut akhir-akhir ini berada di titik terendah lagi setelah
pemerintah Koalisi Liberal pimpinan Perdana Menteri Tony Abbot diam
seribu bahasa terhadap isu penyadapan yang dilakukan atas perintah
sekutu mereka, Amerika Serikat. Publik negara Australia pun terpecah.
Ada yang mengecam terutama dari pihak oposisi, yang melihat seharusnya
Indonesia didekati sebagai mitra strategis, tetangga terdekat dari
utara, pemimpin ASEAN, dan negara yang memiliki kekuatan ekonomi
terbesar di Asia selain Cina dan India. Pendapat pertama ini datang dari
akademisi kritis dan pendukung partai oposisi yakni Partai Buruh.
Ada
yang menganggap penyadapan adalah hal yang biasa dan wajar, sewajar
seperti hidup bertetangga yang dimaklumi jika tetangga ingin tahu apa
yang dilakukan tetangga sebelah. Pendapat terakhir ini adalah kira-kira
suara pendukung partai koalisi yang sedang berkuasa. Sikap kedua inilah
yang dipilih Pemerintah Australia saat ini.
Sikap Pemerintah
Australia ini menunjukkan bukti bahwa Australia bukanlah partner yang
setara dalam diplomasi, bukan pula tetangga yang baik, tetapi Australia
adalah wakilnya polisi dunia Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik.
Tanggapan PM Tony Abott yang cenderung menganggap peristiwa ini sebagai
kewajaran adalah juga bukti bahwa Australia bukanlah Asian looking
country, tetapi orang Barat yang tinggal di kawasan selatan.
Ini
juga bukti bahwa masih ada kecurigaan yang besar terhadap Indonesia
yang dianggap mengancam Australia di benak pengambil kebijakan di negeri
kangguru itu. Tetapi, tentulah mereka tidak tahu bahwa sikap itu justru
merugikan mereka.
Kepentingan Australia akan terhambat jika
Pemerintah Indonesia berani keras dalam isu manusia perahu, misalnya. PM
Abbot dalam kampanye selama pemilu yang lalu selalu menjanjikan
menyelesaikan masalah imigran gelap yang menggunakan perahu ini sebagai
kebijakan yang harus dituntaskannya. Nah, untuk itulah mengapa Indonesia
penting bagi Australia.
Dengan adanya kasus ini tentu saja
Australia akan kesulitan bernegosiasi dengan Indonesia untuk mencegah
para imigran gelap memasuki wilayah mereka. Mau tidak mau, Pemerintah
Australia harus melibatkan Indonesia dalam masalah ini.
Kepentingan
yang lain adalah kepentingan dagang. Indonesia adalah pasar utama
peternak sapi Australia. Ketika Kementerian Pertanian membatasi kuota
impor daging sapi, peternak Australia mengalami kerugian yang besar.
Kepentingan
Indonesia yang paling besar dengan Australia adalah masalah stabilitas
dan dukungan politik dalam menyelesaikan masalah konflik di Papua. Isu
Papua adalah isu yang mudah bagi Pemerintah Australia untuk dijadikan
kartu truf penting yang bisa dimainkan dalam perundingan-perundingan
penting dengan Indonesia. Bisa dikatakan isu Papua inilah yang menjadi
ganjalan utama bagi Indonesia dalam perundingan-perundingan
internasional.
Sikap Pemerintah Indonesia yang menggalang
kekuatan bersama negara lain seperti Jerman yang juga dirugikan dalam
kasus penyadapan ini patut diapresiasi. Kasus ini harus dikapitalisasi
agar menjadi concern bersama dunia internasional untuk mendesak
Pemerintah Amerika dan sekutunya tidak hanya berkata halus di meja
diplomasi namun menelikung di luar.
Presiden harus turun tangan
untuk mendesak Pemerintah Australia meminta maaf dan jika tidak,
Indonesia berhak mengusir dubes Australia di Jakarta sebagai reaksi
keras akan masalah ini. Penarikan Dubes RI di Canberra patut kita
apresiasi.
Reaksi akan penyadapan ini harus pada level presiden
bukan pada level menlu apalagi juru bicara. Presiden jangan sampai
dikritik hanya berani pada isu pribadi seperti isu Bunda Putri ketimbang
isu publik yang menyangkut kedaulatan negara.
Contohlah Angela
Markel, wanita kanselir dari Jerman. Dia dengan tegas meminta
klarifikasi Inggris dan Amerika akan isu penyadapan ini. SBY sebenarnya
punya modal yang kuat untuk berani mendesak Australia dan menyadarkan
publik Australia bahwa Indonesia bisa marah jika tetangganya berlaku bak
asisten sherif di Asia. Tentu saja bahasa konfrontasi seribu persen
penting untuk bahasa diplomasi bukan saja untuk masalah pribadi
No comments:
Post a Comment