10 November 1945 harus dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada
seluruh rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Kepada merekalah, gelar pahlawan
layak disematkan.
Tidak banyak yang mengingat siapa-siapa saja
yang terlibat dalam pertempuran heroik itu. Namun, dalam catatannya 10
November, Sutomo salah satu tokoh pemuda saat itu sempat menuliskan
beberapa nama pemuda, dan peran mereka yang sangat penting dalam
peristiwa yang kemudian hari dikenang sebagai Hari Pahlawan itu.
Pemuda
pertama yang sangat terkenal dalam peristiwa itu adalah Sutomo. Dia
merupakan Pucuk Pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
Perannya yang terbesar adalah memimpin rakyat dalam menegakkan
kedaulatan bangsa, dengan merebut semua kekuasaan dari tangan Jepang,
dan mengusir Belanda dari Jawa Timur.
Pemuda selanjutnya adalah
Soemarsono. Tokoh ini kemudian hari dituding memberontak terhadap
republik, pada tahun 1948. Dia merupakan seorang komunis yang
disebut-sebut memproklamirkan Negara Madiun, bersama Musso dan Amir
Syarifuddin.
Perannya dalam pertempuran Surabaya yang terbesar
adalah mengorganisir rakyat mengangkat senjata, melawan pasukan Belanda,
Jepang, dan Inggris, dalam pertempuran Surabaya. Dalam peristiwa itu,
dia menjabat sebagai Ketua Pemuda Republik Indonesia yang menghimpun
organisasi-organisasi pemuda.
Pemuda lain yang layak dikenang
adalah Abdul Wahab. Dia adalah wartawan foto Kantor Berita Antara yang
pertama kali dipukul oleh pemuda Belanda, tidak lama setelah Indonesia
merdeka.
Pemukulan Wahab, dipicu oleh aksinya dalam mengabadikan
gambar pasukan penerjun payung di depan Hotel Yamato (Oranje Hotel)
yang kini bernama Hotel Majapahit, berada di Jalan Tunjungan No.65,
Surabaya, Jawa Timur.
Kemudian ada pemuda Asmanu mantan pengurus
Gerindo, yang memberi komando penyerbuan Hotel Yamato dan merobek-robek
bendera Belanda. Dia bersama pemuda Usman dan Hernowo, memiliki peran
besar dalam menelanjangi politik kolonial dan membakar semangat rakyat
di kampung-kampung.
Pemuda selanjutnya ada Sumarno. Dia
merupakan pemuda pemberani yang secara terang-terangan melawan Jepang,
karena tindakan-tindakannya yang sewenang-wenang terhadap pegawai
onderneming.
Perannya yang terbesar adalah bersama pemuda
lainnya, mengorganisir pegawai perkebunan dan pabrik bekas milik kaum
penjajah. Dan melakukan bumi hangus di perkebunan dan pabrik itu.
Lalu,
ada pemuda Abdullah. Pria pemberani ini adalah pemberontak di Kapal
Zeven Provincien. Perannya yang terbesar bersama pemuda lainnya adalah,
merebut pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur dari tangan Jepang. Terutama
pangkalan Angkatan Laut di Surabaya.
Kemudian ada Sujarwo, bekas
anggota Gerindo yang telah bertempur dan menandatangani penyerahan
Jepang yang hendak mengacaukan keamaan di Pandaan. Perannya yang
terpenting bersama pemuda lainnya adalah mengorganisir pedagang dalam
memboikot makanan bagi pasukan NICA.
Dalam bidang komunikasi,
pemuda yang dianggap sangat berjasa saat itu adalah Hasan Basri. Dia
bersama kawan-kawannya berhasil mengangkut pemancar radio milik Angkatan
Laut Nippon.
Dengan menggunakan alat sederhana miliknya dan
sebagian milik Kantor Berita Antara, dia menyulap radio rusak tersebut
menjadi pemancar Radio Pemberontakan pertama di Indonesia yang memiliki
kekuatan berlipat ganda.
Pemuda lainnya yang berjasa besar dalam
komunikasi pertempuran Surabaya adalah Arie Rachman. Dia pemuda
pemberani yang mengambil pemancar di tengah desingan peluru, di daerah
kekuasaan tentara Inggris.
Selain itu, ada juga Ali Urip dan
istri, Sumadi dan istri, keluarga Hasan Basri yang terdiri dari ibu,
paman, bibi, dan adik-adiknya. Jasa mereka yang terbesar adalah
menyiarkan pidato para tokoh pemberontakan rakyat melalui Radio
Pemberontakan.
Tidak hanya pemuda, juga ada pemudi. Diantara
pemudi pemberani itu adalah Sutarti, Sri Lestari, Sri Haruni, dan Sri
Mantuni. Mereka adalah bekas anggota Barisan Pelopor Puteri di bawah
pimpinan pemudi Lukitaningsih. Peran mereka yang terbesar adalah
membagikan makanan bagi para pejuang di garis depan pertempuran.
Bahkan,
dari kalangan atlet olahraga pun ada yang terlibat. Diantaranya adalah
Sugiarto. Dia adalah back Persebaya. Dalam pertempuran itu, dia
menggantung sepatu bolanya, dan menggantinya dengan senjata. Hingga
tewas dalam pertempuran.
Begitupun dengan para pelajar Sekolah
Teknik Negeri dan Sekolah Guru. Jasa mereka sangat besar dalam
pertempuran itu. Khususnya dengan membentuk pasukan snel-koeriers atau
utusan cepat yang bertugas menyampaikan berita dan berkoordinasi dengan
luar daerah Surabaya.
Mereka yang tergabung dalam pasukan ini
diantaranya adalah Suyoto, Mashur, SW Kuncahyo, Sukanto, Samsul, Suwono,
dan Sajogja. Mereka berada di bawah komando Sucipto.
Selain
pelajar sekolah teknik, pelajar SMA Surabaya juga sangat berperan dalam
pertempuran di garis depan. Keberanian mereka dalam menggempur lawan
sanggup menggetarkan nyali tentara asing. Dengan taktik yang cemerlang,
mereka bisa menghancurkan tank lawan.
Pemuda lainnya yang juga
sangat berjasa di medan pertempuran adalah Yachman. Dia adalah bekas
pemegang kanon di Angkatan Perang Nippon. Dia tewas dengan bersama kanon
yang dipegangnya.
Kemudian, ada pemuda Gumbreg. Dia adalah
seorang bekas pelayan kantor dagang yang kemudian terkenal sebagai
penembak pesawat udara yang terkemuka di Surabaya. Dalam pertempuran
itu, dia berhasil menembak jatuh 10 pesawat musuh dengan meriamnya.
Para
pemuda-pemudi tersebut, merupakan bagian kecil dari sejumlah besar
rakyat yang berjuang dalam pertempuran itu. Masih banyak nama yang
terlupakan dan hilang dalam catatan sejarah. Untuk itulah, nama-nama
yang tidak dikenal ini dituliskan.
No comments:
Post a Comment