Tuesday 24 September 2013

Australia dan Rasisme Aborigin


Ketika James Cook tiba di Australia dan mendeklarasikan wilayah Australia sebagai milik Inggris, maka di mulailah babak baru dalam sejarah Australia. Australia, yang sebelum kedatangannya hanya berpenghunikan orang-orang Aborigin (yang menurut teori datang dari daerah utara benua Australia) menjadi penuh sesak dengan orang-orang kulit putih, yang datang sebagai narapidana atau memang melakukan imigrasi dari eropa. Ketika di wilayah Bathurst,

New South Wales Australia di temukan emas. Terjadilah gelombang kedatangan imigran kulit putih ke wilayah Australia dalam jumlah besar pada tahun 1851. Penduduk kulit putih pun bertambah tiga kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun. Penggunaan wilayah Australia sebagai tempat pembuangan para narapidana di Inggris pun turut menghasilkan kebudayaan baru yang lebih “kebarat-baratan”.
Dan hal itu mendorong terjadinya gesekan-gesekan antar golongan yang terwujud dalam rasisme Apabila membicarakan rasisme di Australia.

 Pasti tidak terlepas dari nasib yang mengenaskan yang di alami oleh orang-orang Aborigin. Oleh karenanya. Dapatlah kita sebut bahwa sejarah orang Aborigin di Australia merupakan sejarah daripada penindasan dan rasisme yang pernah terjadi di benua kangguru tersebut. Wahana rasisme yang terbingkai dalam diskriminasi terhadap orang-orang Aborigin bahkan sempat gencar sejak dahulu. Orang-orang Aborigin ini justru merasa di asingkan. Dan ironisnya itu terjadi di tanah mereka sendiri.

 Orang-orang kulit putih banyak yang menampung mereka di penampungan-penampungan khusus orang-orang Aborigin. Dalam bidang pendidikan, sejak dahulu pemerintah Australia (orang-orang kulit putih ) memang memberikan kesempatan yang sama antara orang-orang Aborigin dengan orang-orang kulit putih untuk mengenyam pendidikan. Akan tetapi, tetap saja di berlakukan persyaratan yang lebih tinggi untuk orang-orang Aborigin. Penampungan orang-orang Aborigin yang di kelilingi besi. Ternyata telah mematikan budaya dan seni mereka. sebagai contoh, dapat kita lihat penampungan Bargot dan Minmarama Community. Di sana, tampak tak satupun terlihat orang-orang Aborigin yang sedang mengerjakan kesenian mereka. Fakta lainnya adalah, ornamen-ornamen tradisional khas Aborigin yang banyak menghiasi pasar-pasar di Darwin bukan karya asli mereka. Sehingga terkesan nama Aborigin tinggal menjadi hiasan dan hanya berfungsi sebagai daya tarik pariwisata saja. Dalam sejarahnya. Memang terdapat kenyataan bahwa orang-orang Aborigin tidak bisa hidup tenang sejak kedatangan orang-orang kulit putih di Australia. Bahkan Bruce Elder dalam Blood on the Wattle menyebutkan bahwa konfrontasi antara orang-orang Aborigin dengan orang-orang kulit putih sudah terjadi sejak 200 tahun yang lalu. Konfrontasi itu terwujud dalam pembantaian yang di lakukan oleh orang-orang kulit putih yang terjadi terus menerus. Sehingga membuat suku Aborigin yang berada di pantai selatan putus asa untuk memperoleh kembali tanah mereka yang sudah mereka tinggali beratus tahun sebelumnya. Sekitar tahun 1920-an, seratus tahun setelah kedatangan orang-orang kulit putih (imigran Inggris) datang ke Australia. Populasi orang-orang Aborigin di Australia pun merosot tajam. Sebelumnya jumlah mereka 750.000. dan malah menjadi sekitar 60.000 sampai70.000 orang. Apabila kita lihat nasib Aborigin dewasa ini. Rasisme yang menimpa mereka tetaplah terjadi. Warga Aborigin di Australia sampai saat ini masih tidak memilki hak untuk hidup di tanah mereka sendiri. Penduduk asli Aborigin yang merupakan 2,3 persen dari 19 juta warga Australia acap kali menerima perlakuan yang berbeda di tanah mereka sendiri. Seperti yang sudah di sebutkan. Bidang pendidikan menjadi salah satu wilayah rasisme yang di lakukan orang-orang kulit putih terhadap orang-orang Aborigin. Fakta menyebutkan. Hanya tiga perempat kaum muda Aborigin saja yang dapat mengenyam pendidikan dengan baik. Kontras apabila di bandingkan dengan orang-orang kulit putih yang hampir seratus persen mengenyam pendidikannya dengan baik. Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan pun di rasa kecil bagi orang-orang Aborigin. Sehingga pengangguran pun membengkak. Maka tak heran jika orang-orang Aborigin yang masuk ke penjara lebih banyak jumlahnya di bandingkan dengan orang-orang kulit putih. Rasisme yang terkesan “di lembagakan” di Australia sudah terlalu sering menimpa orang-orang Aborigin. Sebagai contoh, apabila ada anak-anak Aborigin yang berbicara menggunakan bahasa Aborigin, maka akan ia akan di kucilkan. Dan perlakuan seperti itu di terapkan atas nama “Integrasi” Selain itu, dalam bidang hukum pun orang-orang Aborigin tidak dapat menghindar dari perlakuan rasisme orang-orang kulit putih. Dapat kita lihat ketika di terapkannya Mandatory Sentencing tahun 1997. Kaum muda Aborigin yang di penjara meningkat menjadi 14 persen. Hal itu terjadi karena pemerintah dapat memenjarakan mereka atas dasar tuduhan yang ringan sekalipun. Rasisme ini pun di rasakan oleh Johno Warramarba (15) dan Jaime Wurramara (21) yang di penjara hanya karena mencuri pensil dan sepotong biscuit di toko. Sangat ironis apabila kita lihat data statistik yang menunjukkan tidak adanya orang-orang kulit putih yang di penjara karena kasus pencurian yang sama. Oleh karena itu, tak heran John Ah Kit (yang merupakan politisi Aborigin), anggota legislative Northern Territory menyatakan Mandatory Sentencing ini adalah rasis. Bahkan di akhir abad 19 sampai sekitar tahun 1960-an, pemerintah Australia menerapkan kebijakan mengambil anak-anak Aborigin campuran dari ibu, orang tua, keluarga dan komunitas mereka.

 Dari sinilah muncul istilah Stolen Generation. Pengambilan anak-anak Aborigin pun tak lepas dari perendahan yang di timpakan kepada mereka yang di wujudkan dengan pemberian istilah Half Cast kepada mereka. Bruce Elder menyebutkan, ketika suatu saat anak-anak Aborigin itu menanyakan orang tua mereka. Maka akan di jawab bahwa orangtuanya yang Aborigin tidak becus mendidik anak dan sebutan-sebutan buruk lainnya. Tindakan-tindakan rasis yang di lakukan orang-orang kulit putih di Australia tak ubahnya seperti apa yang terjadi di Afrika selatan.

Kemiripan pola kedatangan orang-orang kulit putih ke Afrika Selatan dengan orang-orang kulit putih ke Australia memungkinkan di tariknya satu garis lurus yang saling berhubungan. Dan sungguh menarik di perhatikan mengenai orang-orang kulit putih yang kebanyakan bertindak rasis. Seperti orang-orang kulit putih Australia, di Afrika Selatan, dan dapat ditambahkan orang-orang kulit putih (Yahudi) yang cenderung bersikap rasis terhadap warga Arab Palestina.

Dari sanalah saya berspekulasi bahwa tindakan rasis yang di lakukan orang-orang kulit putih ini tak lain datang dari sifat alami mereka sebagai bangsa Arya yang saya tahu selalu menganggap ras mereka lebih tinggi dari ras dravida dan ras-ras lainnya.

Orang-orang Aborigin di Australia justru selama ini hanyalah tempat pengeruk keuntungan bagi orang-orang kulit putih, sebab kesenian-kesenian (yang juga menjadi bukti eksistensi Aborigin) yang di hasilkan orang-orang Aborigin malah menguntungkan orang-orang kulit putih. Dan sudah menjadi sebuah keharusan apabila orang-orang kulit putih di Australia melakukan “politik etis” terhadap tindakan-tindakan mereka yang semena-mena terhadap orang-orang Aborigin. Walau itu saya rasa merupakan hal yang sulit terjadi. Mengingat pemerintah Australia dari dahulu hingga kini bersikap acuh tak acuh terhadap masalah Aborigin

No comments:

Post a Comment