"Jangan sekali-kali melupakan sejarah!", demikian pesan founding father Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Pesan tersebut tentu tidak asing di setiap telinga orang Indonesia. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya.",
kutipan ini juga pasti tidak asing bagi kita. Pada tahun 1976, Timor
Timur resmi bergabung ke dalam NKRI berdasarkan UU no. 7 tahun 1976.
Banyak penduduk asli Timor Timur yang memerjuangkan integrasi Timor
Timur ke Indonesia. Pemerintah seakan-akan telah melupakan perjuangan
mereka, hal itu dibuktikan dengan tidak adanya penghargaan gelar
Pahlawan Nasional kepada satu atau beberapa pejuang integrasi yang telah
meninggal, jarang ada satu bab dalam buku mata pelajaran sejarah yang
khusus membahas proses integrasi Timor Timur, dan kurangnya perhatian
pemerintah terhadap nasib para pengungsi eks Timor Timur yang setia
dengan Merah Putih yang kondisinya kian hari kian memrihatinkan. Berikut
adalah nama para tokoh yang memerjuangkan maupun memertahankan
integrasi Timor Timur ke dalam NKRI :
Ketiga orang ini merupakan tokoh dan saksi hidup "Perlawanan
Vikeke" yakni pemberontakan rakyat Timor Timur melawan penguasa kolonial
Portugis yang dimulai dari wilayah Vikeke. Pemberontakan ini merupakan
awal dari keinginan rakyat Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia.
Pada tanggal 3 Juni 1959, rakyat Timor Timur bangkit mengangkat senjata
melawan penjajah Portugis serta menjadikan bendera Merah Putih sebagai
panji perjuangan. Namun pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh
Portugis. Para pemuda tersebut ditangkap, disiksa, dan dibunuh serta 68
orang dibuang ke Afrika Barat Portugis (sekarang Angola) dan Afrika
Timur Portugis (sekarang Mozambik).
Arnaldo dos Reis Araujo
Arnaldo dos Reis Araujo merupakan pendiri partai APODETI (Associacao Popular Democratica Timorense)
yang bertujuan untuk menyatukan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia.
Awalnya pria kelahiran Ainaro, 14 Mei 1913 ini adalah seorang peternak
yang kemudian berkolaborasi dengan tentara Jepang ketika Jepang
menduduki Timor Portugis saat Perang Dunia II. Pada tahun 1974 muncul
beberapa partai di Timor Timur yang memiliki tujuan yang berbeda-beda.
Tiga yang terbesar yakni APODETI, UDT (Uniao Democratica Timorense) yang memertahankan Timor Timur tetap berada di bawah Portugis serta FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente)
yang menginginkan Timor Timur berdiri sebagai sebuah negara berdaulat.
Situasi semakin mencekam di Timor Portugis. FRETILIN dengan bantuan
militer Portugis terus menyerang APODETI dan UDT sehingga memaksa
keduanya untuk bersatu menghadapi serbuan FRETILIN. Ribuan warga sipil
yang mendukung integrasi Timor Timur ke Indonesia menjadi korban
kebiadaban FRETILIN. Perbatasan Timor Portugis dan NTT dibanjiri
pengungsi dari berbagai penjuru Timor Portugis. Pada tahun yang sama,
Arnaldo Araujo pergi ke Jakarta untuk meminta dukungan dari para
pemimpin Indonesia. Ia kembali ke Timor Timur dan bersama-sama dengan
Francisco Xavier Lopes da Cruz (ketua UDT) mengadakan proklamasi
tandingan di Balibo untuk menandingi proklamasi kemerdekaan FRETILIN di
Dili. Akhirnya ia ditangkap oleh FRETILIN dan disiksa dengan sangat
tidak manusiawi. TNI kemudian melancarkan Operasi Flamboyan untuk
menyelamatkan tokoh-tokoh Timor Timur pro integrasi termasuk Arnaldo dos
Reis Araujo dan melarikan mereka menyeberang perbatasan menuju Timor
Barat. Pada tanggal 7 Desember 1975, TNI mulai masuk ke Timor Timur dan
berhasil memukul mundur FRETILIN ke hutan. Arnaldo dos Reis Araujo
kembali dan menjadi gubernur pertama provinsi Timor Timur. Arnaldo
Araujo meninggal di usia 74 tahun pada tanggal 24 Januari 1988.
Joao da Silva Tavares
Joao da Silva Tavares adalah panglima PPI (Pejuang Pro Integrasi) ketika
terjadi pergolakan di Timor Timur. Saat itu situasi semakin keruh dan
teriakan-teriakan kelompok separatis semakin keras. Karena itu,
dibentuklah kelompok-kelompok milisi pro integrasi Timor Timur seperti
Gadapaksi, Makikit, Halilintar, dll. 10 sayap milisi yang tersebar di 18
sektor berada di bawah komando Joao da Silva Tavares sebagai panglima
PPI. Terjadi pertumpahan darah di seluruh Timor Timur antara kelompok
pro integrasi dan kelompok pro kemerdekaan. Para milisi pro integrasi
siap bertempur habis-habisan melawan FALINTIL (Forcas Armadas da Libertacao Nacional de Timor Leste)
beserta para pendukungnya demi memertahankan Merah Putih tetap berkibar
di bumi Lorosae. Perjuangan mereka mengalami tekanan setelah kedatangan
pasukan INTERFET (International Force for East Timor) dan kelompok pro kemerdekaan menjadi semakin kuat. Ketika diwawancara oleh seorang wartawan, ia sempat mengatakan : “Orang-orang
Timtim pro integrasi tidak takut menghadapi kapal, pesawat maupun
helikopter perang yang canggih yang dikirim pasukan PBB ke Timtim. Bahkan kami siap bergerilya selama seratus tahun.” Setelah
Timor Timur lepas dari NKRI, mantan bupati Bobonaro tersebut mengurus
nasib para pengungsi dari Timor Timur yang setia dengan Merah Putih ke
Timor Barat yang merupakan wilayah Indonesia. Joao Tavares sempat
ditawari oleh pemerintah Indonesia sebuah vila mewah di Bogor. Namun ia
lebih menolak tawaran tersebut dan memilih tinggal di Atambua dan
berbaur dengan para pengungsi. Tanggal 8 Juni 2009, sang panglima tutup
usia pada usia ke-78. Mantan Wakil Panglima PPI Eurico Barros Gomes
Guterres meminta pemerintah Indonesia untuk menganugrahkan Joao da Silva
Tavares gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya memertahankan
keutuhan NKRI tetapi permintaan tersebut sampai sekarang belum dipenuhi
bahkan cenderung diabaikan.
Upacara pemakaman Joao da Silva Tavares di TMP Seroja, Kupang
Abilio Jose Osorio Soares
Abilio Jose Osorio Soares
Dialah sang gubernur terakhir provinsi Timor Timur. Berbeda dengan para
pendahulunya yakni Guilherme Maria Goncalves (gubernur kedua) dan Mario
Viegas Carrascalao (gubernur ketiga) yang memilih menjadi warganegara
Timor Leste setelah merdeka, Abilio Soares tetap memilih menjadi
warganegara Indonesia sampai hembusan napas terakhir. Ia dikenal sebagai
sosok yang dekat dengan rakyat. Selama menjabat sebagai gubernur, ia
menolong para pengikut FRETILIN yang saling bertikai dengan maksud
setelah mereka ditolong dengan diberi pekerjaan dan kehidupan yang
layak, mereka tidak akan kembali bergabung dengan FRETILIN dan mengacau
keamanan. Namun ternyata sebagian besar dari mereka merupakan
orang-orang yang bermuka dua. Beberapa di antara mereka memakai
kesempatan itu untuk membantu gerakan separatis. Gubernur Abilio Soares
juga pernah mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar pejuang Timor
Timur, Dom Boaventura (raja Manufahi), menjadi Pahlawan Nasional.
Bandara Komoro sempat direncanakan akan diganti nama menjadi Bandara Dom
Boaventura. Setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, Abilio Soares
ditahan bahkan nyaris dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Indonesia
sendiri karena dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat. Tahun
2004, Abilio Soares dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Abilio
Jose Osorio Soares menghembuskan napas terakhirnya pada 17 Juni 2007 di
Kupang.
Eurico Barros Gomes Guterres
Eurico Barros Gomes Guterres
Pria kelahiran Uatulari, Vikeke pada tanggal 17 Juli 1971 ini adalah
mantan wakil panglima PPI dan kini menjadi ketua umum UNTAS (Uni Timor
Aswa'in) yakni organisasi yang menghimpun orang-orang Timor Timur yang
memilih tinggal di Indonesia. Awalnya ia adalah seorang yang pro
kemerdekaan. Suatu kali ia ditangkap oleh intel TNI dengan tuduhan bahwa
ia berkomplot untuk membunuh Presiden Soeharto yang akan mengunjungi
Dili. Namun peristiwa tersebut menjadi titik balik dalam hidup Eurico
Guterres. Semenjak itu, Eurico Guterres berprinsip bahwa integrasi Timor
Timur ke Indonesia adalah harga mati. Prabowo Subianto menaruh
perhatian pada kemampuan Eurico Guterres sehingga tahun 1994 ia merekrut
Eurico Guterres sebagai salah satu milisi Gadapaksi. Karena kegigihan
dan keaktifannya dalam memerangi FALINTIL dan para pendukung
kemerdekaan, karirnya terus melonjak hingga ia menjadi wakil panglima
PPI. Setelah Timor Timur lepas dari NKRI, Eurico Guterres meninggalkan
harta benda bahkan anak istri (karena istri dan anak-anaknya memilih
tetap tinggal dan menjadi WN Timor Leste) untuk hijrah ke Timor Barat
bersama para pengungsi yang setia dengan NKRI. Kecintaannya terhadap
Merah Putih semakin diuji ketika ia harus ditahan karena dianggap telah
melakukan pelanggaran HAM berat oleh negaranya sendiri. Kemudian ia
dibebaskan setelah naik banding hingga ke tingkat MA. Eurico Guterres
berada di posisi nomor 1 dalam DPO (daftar pencarian orang) pemerintah
Timor Leste. Kini Eurico Guterres menjabat sebagai ketua umum UNTAS
untuk memerjuangkan nasib orang-orang Timor Timur di Indonesia.
Octavio A. J. O. Soares
Octavio A. J. O. Soares adalah pemuda Timor Timur yang giat
mengampanyekan integrasi Timor Timur baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Bahkan ia rela meninggalkan cukup lama kuliahnya di Fakultas
Kedokteran di UGM, Yogyakarta, demi berkampanye memerjuangkan integrasi.
Ia adalah keponakan gubernur terakhir Timor Timur, Abilio Jose Osorio
Soares. Pemuda yang memiliki darah campuran Portugis ini sangat geram
ketika Jose Manuel Ramos Horta dan Uskup Carlos Felipe Ximenes Belo akan
diberi penghargaan Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia. Bersama dengan
Joao Angelo Sousa Mota dan dengan bantuan dana dari Prabowo Subianto,
Octavio Soares terbang ke Norwegia untuk berkampanye di sana untuk
memerjuangkan integrasi Timor Timur serta memaparkan bukti-bukti
pembunuhan oleh Jose Manuel Ramos Horta selama tahun 1974-1976. Begitu
mendarat di Oslo, kedua pemuda tersebut langsung ditangkap karena
dianggap akan membunuh Ramos Horta. Mereka ditahan dan diinterogasi
selama 10 jam oleh pihak keamanan Norwegia bahkan tidak diberi makan.
Akibat penangkapan ini, para pemuda Timor Timur pro integrasi berdemo di
depan kedutaan besar Norwegia di Jakarta. Norwegia dianggap telah
melanggar HAM di negeri mereka sendiri. Kini Octavio Soares berfokus
pada bidang kesehatan, ia menetap di Kupang dan mengabdi sebagai seorang
dokter serta sebagai dosen di STiKes CHMK.
Sebenarnya masih ada banyak lagi tokoh-tokoh Timor Timur baik yang memerjuangkan maupun yang memertahankan penyatuan Timor Timur ke dalam NKRI. Namun saya cukup paparkan nama-nama mereka yang perlu Anda ketahui : Fernando Jose Osorio Soares, Hermenegildo Martins, Domingos Maria das Dores Soares, Filomeno de Jesus Hornay, Laurentino Soares, dll. Mereka semua patut menjadi panutan bagi kita semua untuk memiliki rasa cinta tanah air. Meskipun tanah kelahiran mereka kini telah menjadi sebuah negara tetapi mereka tetap setia terhadap Indonesia, bahkan mereka dapat dikatakan lebih "Merah Putih" daripada kita sendiri. Walaupun sebagian dari mereka telah tiada, jiwa dan semangat mereka akan terus abadi di hati rakyat Indonesia, khususnya mereka yang berasal dari Timor Timur.
Sebenarnya masih ada banyak lagi tokoh-tokoh Timor Timur baik yang memerjuangkan maupun yang memertahankan penyatuan Timor Timur ke dalam NKRI. Namun saya cukup paparkan nama-nama mereka yang perlu Anda ketahui : Fernando Jose Osorio Soares, Hermenegildo Martins, Domingos Maria das Dores Soares, Filomeno de Jesus Hornay, Laurentino Soares, dll. Mereka semua patut menjadi panutan bagi kita semua untuk memiliki rasa cinta tanah air. Meskipun tanah kelahiran mereka kini telah menjadi sebuah negara tetapi mereka tetap setia terhadap Indonesia, bahkan mereka dapat dikatakan lebih "Merah Putih" daripada kita sendiri. Walaupun sebagian dari mereka telah tiada, jiwa dan semangat mereka akan terus abadi di hati rakyat Indonesia, khususnya mereka yang berasal dari Timor Timur.
No comments:
Post a Comment