Friday, 20 September 2013

para pahlawan indonesia dari papua

Kurang lebih 50 tahun silam, Papua Barat secara resmi bergabung ke dalam NKRI setelah lama berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Sayangnya masih ada banyak orang Papua yang memermasalahkan integrasi Papua ke dalam NKRI dan menuntut pemisahan Papua dari NKRI. Belum lagi ditambah dengan provokasi-provokasi OPM yang terkadang memutarbalikkan fakta. Integrasi Papua ke wilayah Indonesia adalah sah karena telah disetujui oleh rakyat Papua sendiri dan juga oleh PBB.

Papua dalam Kongres Pemuda
Kongres Pemuda II diadakan pada tanggal 28 Oktober 1928, yang pertama diadakan pada tahun 1926. Kongres Pemuda adalah kongres yang diadakan para pemuda dan dihadiri oleh para pemuda dari berbagai penjuru Hindia Belanda. Kongres tersebut bertujuan agar seluruh pemuda Indonesia bersatu padu mewujudkan Indonesia merdeka, maka dihasilkanlah Sumpah Pemuda.

Banyak orang, terutama dari masyarakat asli Papua sendiri, tidak mengetahui bahwa ada beberapa pemuda Papua ikut hadir dan menjadi saksi peristiwa bersejarah tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penelusuran sejarah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Akibatnya banyak orang Indonesia tidak dapat mengetahui secara rinci siapa saja yang hadir dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda tersebut. Maka dari itu, hal ini dipakai OPM untuk menyebarkan kebohongan bahwa tidak ada wakil dari Papua dalam peristiwa Sumpah Pemuda.
Ramses Ohee, ketua adat Tobati-Enggros, pernah mengakui bahwa orangtuanya, Abner Ohee dan Orpa Pallo, pernah turut menjadi wakil Papua dalam Kongres Pemuda tahun 1928 walau mereka tergabung dalam organisasi Jong Ambon. Berarti dapat disimpulkan bahwa dahulu orang-orang Papua pernah sepakat untuk berikrar bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Masyarakat Papua telah lama menggunakan bahasa Melayu yang kelak menjadi bahasa Indonesia bukan sejak resmi bergabung dengan Indonesia.

Ramses Ohee

Pahlawan Indonesia dari Papua
Bagi sebagian besar warga negara Indonesia tentu tidak asing dengan nama-nama Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Jenderal Soedirman, dll. Tetapi di satu sisi, banyak dari antara kita tidak mengetahui para pahlawan Indonesia dari Papua. Pemerintah seharusnya memasukkan kisah-kisah kepahlawanan para pejuang kemerdekaan dari Papua ke dalam buku-buku pelajaran sejarah. Selain itu, nama-nama mereka juga seharusnya lebih sering diabadikan untuk nama jalan, gedung, dan lain sebagainya di berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya di Papua, sehingga dengan begitu perjuangan mereka dapat diketahui dan terus dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Papua.

Salah satunya adalah Marthen Indey. Marthen Indey adalah mantan anggota polisi Belanda. Putra Papua kelahiran 14 Maret 1912 di Doromena, Hollandia (sekarang Jayapura), ini pernah ditugaskan untuk mengawasi para pejuang kemerdekaan Indonesia yang dibuang ke Digul. Dari sanalah muncul rasa nasionalisme Marthen Indey. Bersama 30 orang teman, ia merencanakan penangkapan aparat keamanan Belanda tetapi rencana ini tercium oleh pihak Belanda, akibatnya ia pun dipindahtugaskan ke daerah terpencil di hulu Sungai Digul. Ketika Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda saat Perang Dunia II, Marthen Indey ikut pergi bersama pemerintahan pengasingan Hindia Belanda menuju Australia. Tahun 1944, ia kembali ke tanah air bersamaan dengan datangnya pasukan Sekutu. Bulan Oktober 1946, Marthen Indey menghubungi para tokoh Maluku yang pro kemerdekaan. Karena sering berkomunikasi dengan kelompok pro RI di Ambon, ia ditangkap dan dipenjara oleh Belanda. Semangatnya tak pernah padam. Bulan Januari 1962, ketika Operasi TRIKORA dilancarkan, Marthen Indey menyusun kekuatan gerilya serta membantu penyelamatan anggota-anggota RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) yang diterjunkan untuk membebaskan Papua Barat. Ia diangkat sebagai anggota MPRS terhitung dari tahun 1963 hingga 1968 setelah Papua Barat resmi bergabung ke dalam wilayah Indonesia. Marthen Indey meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 1986 di usia 74 tahun.
Silas Ayari Donrai Papare, seorang mantan pegawai pemerintah kolonial Belanda asal Serui, Kepulauan Yapen, ikut memerjuangkan kemerdekaan Papua dengan gigih hingga ia dipenjara di Hollandia karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak. Di penjara, pria kelahiran 18 Desember 1918 ini bertemu Dr. Sam Ratulangi dan dari sana ia berkeyakinan bahwa Papua adalah bagian dari bangsa Indonesia. Setelah dibebaskan, bersama putra Papua berdarah Tionghoa, Yakop Thung Tjing Ek, ia membentuk PKII (Partai Kemerdekaan Indonesia Irian) pada tahun 1946. Ketika dikejar oleh aparat keamanan Belanda, ia bersama keluarganya meninggalkan Serui, kota kelahirannya, menuju Yogyakarta. Di Yogyakarta, Silas Papare tetap aktif memerjuangkan pembebasan Papua dengan mendirikan Badan Perjuangan Irian. Diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi anggota MPRS, di depan sidang MPRS bulan Maret 1967 Silas Papare berpidato : "Kami orang-orang Papua hanya menghendaki kehidupan yang lebih baik." Hal ini menunjukkan keyakinan kuat Silas Papare bahwa Papua adalah bagian sah dari RI. Silas Papare menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 7 Maret 1978. Kutipannya yang terkenal adalah "Jangan sanjung aku, tetapi teruskanlah perjuanganku."


Silas Ayari Donrai Papare


Kedua pahlawan Indonesia di atas bersama dengan Frans Kaisiepo dan Johannes Abraham Dimara yang juga merupakan putra asli Papua memeroleh penghargaan gelar Pahlawan Nasional. Marthen Indey, Silas Papare, dan Frans Kaisiepo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993 sedangkan J. A. Dimara baru ditetapkan pada tanggal 11 November 2010. Masih ada banyak lagi pejuang asal bumi Cendrawasih yang memerjuangkan penyatuan Papua ke dalam NKRI. Ada Lukas Rumkorem, Stevanus Rumbewas, Petrus Wattebossy serta Petero Jandi yang dihukum mati oleh pemerintah kolonial dan lain sebagainya. Beberapa di antara mereka patut menyusul ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.


Frans Kaisiepo

Johannes Abraham Dimara
Penentuan Pendapat Rakyat
Setelah sekian lama berjuang, Indonesia berhasil membebaskan Papua Barat dari tangan kolonial Belanda. AS sebagai negara pendonor bantuan ekonomi negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II termasuk Belanda kini berbalik mendorong Belanda untuk segera melepaskan Papua Barat. Untuk dapat disetujui PBB, harus diadakan PEPERA (penentuan pendapat rakyat) untuk mengetahui keinginan masyarakat di sana apakah ingin bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri. OPM juga menuduh penyelenggaraan PEPERA tidak demokratis dan tidak sah. Berikut adalah yang sebenarnya terjadi.

Pada tahun 1969, diadakanlah PEPERA yang dilakukan oleh Pantia 9 yang telah dilantik oleh DPRD setempat. Panitia ini segera menghubungi para tokoh masyarakat Papua untuk segera bergabung dalam DMP (Dewan Musyawarah PEPERA). PEPERA diikuti oleh 1.026 anggota DMP yang menjadi wakil dari rakyat Papua Barat dari 8 kabupaten. PEPERA dimulai dari Merauke, ujung timur Indonesia, tanggal 14 Juli 1969 hingga terakhir diadakan di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969. Sebagian besar wakil yang hadir memilih bersatu dengan NKRI. Pelaksanaan PEPERA turut disaksikan utusan dari PBB, utusan dari Australia, serta utusan dari Belanda. Pemerintah Indonesia dengan PBB telah sepakat untuk menggunakan sistem perwakilan bukan sistem one man one vote saat PEPERA mengingat adanya kendala secara geografis dan demografis. Sistem perwakilan itu sendiri juga merupakan wujud dari demokrasi. Dalam budaya Papua sendiri, apabila tokoh adat setempat memilih pilihannya maka pilihan ketua adat akan diikuti oleh masyarakatnya.

Tugu PEPERA

Hasil PEPERA kemudian diserahkan kepada Dr. Fernando Ortiz Sanz (wakil PBB untuk mengawasi PEPERA) untuk dilaporkan pada saat Sidang PBB ke-24 pada tanggal 19 November 1969. Sebanyak 84 negara anggota PBB menyetujui penggabungan Papua Barat ke wilayah Indonesia, hanya 30 negara yang abstain dan tidak ada satu negara pun yang tidak setuju. Pihak Belanda sendiri menunjukkan sikap menghormati keputusan rakyat Papua Barat.

Sekarang kedua provinsi di Papua yakni Papua dan Papua Barat telah memeroleh otonomi khusus. Bantuan dana otonomi khusus yang telah diberikan oleh pemerintah pusat tidaklah kecil. Sudah bukan waktunya lagi untuk memermasalahkan integrasi Papua ke Indonesia. Sudah seharusnya orang-orang Papua yang tergabung dalam OPM menurunkan senjata dan kembali bersama-sama mengerahkan segala potensi untuk membangun Tanah Papua menuju masa depan yang cerah. Integrasi Papua sudah final. Saat ini sudah ada beberapa tokoh OPM yang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan memeroleh kembali kewarganegaraan RI, antara lain Nicolaas Jouwe dan Frans Albert Joku. Biarlah sebutan "Tanah Surga" tetap terus melekat dengan Tanah Papua di mana setiap orang dari berbagai suku bangsa dan agama hidup dalam damai dan hidup berdampingan.

Kebanggaan rakyat Papua terhadap Merah Putih

No comments:

Post a Comment