Apa yang membuat Jepang jadi negara maju? Bukan
karena teknologi, tapi karena tingkat literasi masyarakatnya. Saat
Jepang memenangi pertempuran laut melawan Rusia di awal abad XX,
kemenangannya bukan didukung oleh teknologi, melainkan oleh tingginya
tingkat literasi. Saat itu, hanya 20 persen tentara Rusia yang bisa
“membaca dan menulis”. Sebaliknya seluruh personil tentara Jepang tahu
“membaca dan menulis” serta mahir menggunakan peralatan militer modern.
Meski kemudian Jepang kalah perang di tahun 1945, negeri itu tetap bisa
bangkit kembali menjadi negara berkekuatan ekonomi besar hingga saat
ini.
Ya, teknologi bisa diambil setiap saat, bisa dibeli
kapan saja, tapi literasi hanya bisa dibangun oleh waktu dan kesabaran.
Literasi yang dimaksud di sini adalah tingkat kemampuan masyarakat
dalam membaca dan menulis. Tapi tak berhenti di situ, karena literasi
juga kini berkembang hingga kemampuan masyarakat dalam berbagai fungsi
dan ketrampilan hidup.
Hal yang memprihatinkan dari negeri kita saat ini
bukanlah krisis nilai tukar atau gejolak ekonomi. Krisis ekonomi bisa
datang dan pergi. Tapi krisis membaca adalah masalah serius kebangsaan.
Survei Unesco menunjukkan kalau Indonesia adalah negara di ASEAN yang
minat bacanya paling rendah. Sementara itu, perbandingan jumlah buku
yang dibaca siswa SMA kita juga memprihatinkan. Kalau di Jepang, anak
SMA wajib membaca 22 buku, sementara di negeri kita nol buku. Hal ini
pernah disindir oleh Taufiq Ismail dengan istilah “Tragedi Nol Buku”.
Hasil survey yang dikutip oleh Witdarmono menunjukkan indikator dari Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) maupun Programme for International Student Assessment (PISA)
mencatat bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan
bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia
usia 9-14 tahun masih memprihatinkan.
No comments:
Post a Comment