Keberhasilan Angkatan Laut AS dalam uji coba lepas landas pesawat tempur
tanpa awak X-47B dari kapal induk beberapa waktu lalu adalah awal baru
dimulainya sistem pertahanan AL di dunia. Keberhasilan itu merupakan
kemajuan tidak saja bagi AS, namun juga mampu memberi inspirasi untuk
membangun peralatan tempur yang sama bagi negara-negara lain seperti
Rusia dan Cina. Tak terkecuali, sang macan yang baru tumbuh di Asia :
Indonesia.
Jangan dulu memandang rendah negara kita ini dengan segala macam
kemampuannya untuk sejajar dengan negara-negara maju. Indonesia adalah
anak macan, bukan anak ayam yang baru tumbuh.
Enam puluh delapan tahun yang lalu, Indonesia baru merdeka dan kita
hanya memiliki satu atau dua teknolog yang belum bisa membuat alat
tempur apapun. Belanda melarang kaum pribumi untuk sekolah walau hanya
di tingkat SD sekalipun kecuali mereka yang anak raja atau Bupati atau
keturunan Timur asing seperti orang-orang Cina. Para warga pribumi tidak
diberi kesempatan untuk sekolah, dibiarkan buta huruf, hidup dalam
kemelaratan dan keterbelakangan. Tahun 1945, hampir 99,99 % warga
pribumi Indonesia tidak mampu membeli sekilo beras atau sehelai baju.
Mereka makan gaplek (singkong yang dikeringkan) setiap hari dan memakai
baju dari bahan karung goni yang penuh dengan kutu. Kebodohan dan
kemiskinan ada di mana-mana, mulai dari Aceh hingga Merauke, akibat dari
penjajahan dan penindasan yang sangat lama.
Makan nasi adalah kemewahan saat itu, dan makan sebutir telur adalah hal
yang hampir-hampir tidak mungkin. Kemiskinan melanda nusantara di
mana-mana akibat penjajahan. Sedangkan orang Indonesia keturunan
Tionghoa memperoleh keistimewaan yang tidak didapat oleh kaum pribumi,
yakni mereka punya akses sekolah sampai perguruan tinggi, makan enak
bergizi, diperbolehkan memiliki usaha sendiri dan bahkan menjabat
beberapa posisi pemerintahan di tingkat atas. Ini adalah politik Belanda
untuk memecah belah Indonesia dengan politik busuk mereka, devide et
impera : pecah belah mereka niscaya mereka akan lemah. Itulah sebabnya
para keturunan Tionghoa memiliki kemajuan ekonomi yang lebih
dibandingkan kaum pribumi, karena perbedaan akses baik di bidang
pendidikan, ekonomi, maupun kekuasaan telah tertinggal selama 350 tahun
lebih.
Selama 350 tahun orang-orang pribumi Indonesia hidup dibawah telapak
kaki Belanda, diinjak-injak, dipandang tak lebih dari orang-orang
bermuka hitam yang hanya pantas untuk diludahi, diperlakukan sebagai
warga kelas 3 (warga kelas 1 adalah orang-orang kulit putih, warga kelas
2 adalah keturunan timur asing seperti orang-orang Cina) dibuat miskin
dan bodoh. Secara mental, kita telah dirusak : dikondisikan sedemikian
rupa sehingga hidup dalam suasana inferior, tidak memiliki kepercayaan
diri, merasa tak mampu dan dibiarkan secara sengaja hidup terbelakang.
Tentu saja mental inlander ini tidak mudah hilang begitu saja, sementara
kita menyaksikan mereka yang lebih dulu mulai, melesat jauh di depan.
Orang-orang pribumi mulai menunjukkan kemampuannya sedikit demi sedikit
setelah kesempatan itu datang. Lahirlah pengusaha-penguasaha baik kecil,
sedang, maupun besar dari kalangan pribumi untuk mengejar
saudara-saudara mereka keturunan Tionghoa yang telah 'mencuri start',
di-anak-emaskan Belanda selama 350 tahun lebih dulu.
Kita tidak hendak membenci orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa,
namun sejarah masa lalu hendaknya dipahami bahwa warga Indonesia pribumi
perlu proteksi sampai mereka menjadi sejajar dengan warga lainnya
karena 'start' nya pun tidak sama. Penulis setuju dengan cara Malaysia
dalam memberi kesempatan kaum pribumi tumbuh lebih kuat lebih dulu, baru
dibiarkan untuk berkompetisi secara adil.
Secara logika, jika dalam perlombaan marathon Jakarta-Surabaya kaum
pribumi harus mulai dengan berlari di atas dua kaki sendiri dari Lebak
Bulus sementara kaum Tionghoa sudah mencuri start dari Solo dan mereka
diperbolehkan naik motor, apakah perlombaan itu adil ?
Tidakkah lebih adil jika kaum pribumi diberi fasilitas lebih dahulu
untuk mengejar ketertinggalannya hingga ke Solo, baru mereka sama-sama
berlari dari start yang sama dan dengan cara yang sama pula menuju garis
finish di Surabaya ?
Baiklah, kita kembali ke pembahasan kita.
Ke depan, X-47B diharapkan akan mampu berperan sebagai jet tempur otonom
(Unmanned Carrier Launched Airborne Surveillance and Strike system, or
UCLASS) untuk angkatan laut AS. Aspek yang perlu dibenahi adalah tingkat
keakurasian dari GPS dan teknologi navigasi baik di pesawat nir awak
itu sendiri maupun di kapal induknya. Hal tersulit adalah melakukan
kalibrasi teknologi GPS hingga ke tingkat ketelitian sampai
sekecil-kecilnya dari sistem kendali di peswat induk dan di pesawat itu
sendiri. Perhatikan video di bawah ini
Enam puluh delapan tahun adalah usia yang masih sangat muda untuk sebuah
negara. Tahun 1945 kita hanya punya segelintir insinyur yang hanya tahu
cara kerja mesin uap. Namun empat puluh tahun kemudian, siapa sangka,
kita mampu membuat peswat dan kapal perang sendiri. Kita juga bisa
membuat roket dan satelit sendiri.
Jika AS mampu melepas landaskan pesawat nir awak X-47B dari kapal induk
mereka setelah 250 tahun lebih dulu merdeka, maka, 250 tahun dari
sekarang, percayakah Anda, Indonesia tidak akan mampu membuat peralatan
yang sama ?
Saya kira tidak, kita tidak butuh waktu 250 tahun lagi untuk mampu
membuat hal yang sama. Kita, mungkin saja, hanya butuh waktu kurang dari
70 tahun untuk mencapainya. Bahkan bisa lebih cepat lagi.
Pesawat nir awak X-47B ini lepas landas dari kapal induk setelah dilepas
dengan ketapel dari dek kapal induk pada hari Selasa, minggu lalu.
Pesawat, yang merupakan Unmanned Combat
Aerials System (UCAS), terbang dari dek kapal induk USS George H.W.
Bush, lalu melakukan pendaratan di dek kapal induk itu lagi dan lepas
landas lagi secara berulangkali sebelum akhirnya terbang ke pangkalan
terdekat di daratan.
X-47B adalah pesawat demonstrator,
pesawat nir awak modern pertama dengan sayap-tetap (fixed-wing), sebelum
akhirnya dibuat pesawat yang memiliki kemampuan lepas landas dan
mendarat secara penuh di kapal induk.
Di dalam video di atas terlihat bahwa pesawat X-47B sempat dua kali
terbang melintasi kapal untuk mendekati landasan sebelum akhirnya dua
kali menyentuh landasan dek dan melaluinya. Pendekatan pendaratan
adalah hal yang tersulit. Mendekati landasan yang amat pendek di atas
kapal induk, melaluinya, dan lepas landas lagi saat gagal berhenti
mendarat. Seperti pilot sedang melakukan latihan pendaratan. Di atas
geladak kapal induk, manuver sangat signifikan menentukan, lepas landas
secara cepat, jika mereka gagal menyentuh kabel penahan di dek kapal
induk saat mendarat.
Dua kali penerbangan di atas kapal bukan sekedar untuk pertunjukan,
melainkan bagian penting dan menarik dari video tersebut tentang upaya
pendekatan pendaratan secara benar. Dalam dua kali percobaan mendekati
dek di mana X-47B tidak menyentuh landasan, pada dasarnya adalah latihan
bagi staf sinyal pendaratan (Landing Signal Officer) dalam penerbangan
di atas dek dan bagi pesawat itu sendiri dalam memutuskan pendaratan
aman/belum. Ini bisa terjadi lantaran dek terlihat belum aman (seseorang
atau kendaraan sedang ada di atas area landing, misalnya) atau karena
komputer yang ada pada pesawat nir awak X-47B masih mendeteksi sesuatu
yang belum beres di jalur pesawat atau sudut pendekatan dan kecepatan
yang belum pas.
Dengan kata lain, dua kali penerbangan adalah test kemampuan bagi kapal
induk dan pesawat itu sendiri dalam berbagi data yang super cepat itu
dalam sistem secara keseluruhan.
Momen-momen sentuhan antara pesawat dan kapal serta tinggal landasnya
UAV menunjukkan sistem telah bekerja secara spektakuler, meletakkan
X-47B di atas dek dan kemudian mengirimkan kembali terbang ke atas udara
hingga manuver selesai. Pihak AL masih perlu mensertifikasi kapabilitas
pendaratan dalam simulator yang identik datanya (terrestrial carrier
simulator) dengan percobaan tersebut di stasiun terdekat, Markas
Angkatan Laut Patuxent River di Maryland’s Chesapeake Bay. Masih banyak
hal yang harus disempurnakan agar pesawat itu mampu menjalankan misinya
sebagaimana yang dikehendaki.
Ke depan, perkiraan saya, pertarungan antar drone antara satu negara
dengan negara lainnya bukan pada saling tembak antara satu UAV dengan
UAV lainnya, melainkan antar programmer di depan monitor dengan
programmer musuh di monitor komputer lainnya seperti layaknya permainan
Games Online. Mengapa ?
Semenjak kejadian penyusupan virus komputer di dalam 'otak' drone milik
AS beberapa waktu yang lalu, membuat orang berpikir : drone bisa direbut
kendalinya oleh musuh dengan menggunakan malware canggih. Jadi ketika
Indonesia misalnya, bisa merebut kendali atas drone-drone AS dengan
memperdayakan progrtammer handal kita, maka para pengendali kita akan
mampu megarahkan drone AS itu untuk menembaki kapal mereka sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Seperti yang penulis katakan di atas, Indonesia punya potensi untuk maju. Beberapa teknologi yang harus dikuasai Indonesia agar bisa membuat kapal induk setara dengan kapal induk George HW Bush dan pesawat nir awak secanggih X-47B adalah :
1. Pengembangan galangan kapal PT PAL dan kapasitas pabrik untuk membuat kapal yang lebih besar, sekelas kapal induk. Ini berarti PT PAL harus memperbaiki manajemen agar lebih efektif dan efisien secara keseluruhan, memperkuat R & D dan memperluas pasar untuk meningkatkan order proyek di luar proyek dari Dephankam.
2. Meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi software untuk Sistem informasi seperti programmer, ahli-ahli semikonduktor, dan penerbangan.
3. Meningkatkan kemampuan peneliti dan ahli di bidang satelit dan radar.
4. Meningkatkan kemampuan PT DI agar bisa mengembangkan teknologi pesawat nir awak bersama dengan BPPT.
5. Secara keseluruhan, pemerintah harus memperbaiki manajemen perusahaan BUMN di bawah BPIS agar bisa berlari lebih cepat dan tanggap pada perubahan dan perkembangan teknologi di luar negeri.
6. Dan yang terakhir, satu hal musuh terbesar kemajaun yang harus dibantai habis-habisan : korupsi ! Korupsi adalah musuh utama Indonesia, bukan Malaysia, Philipina, Thailand dan semacamnya. Jangan dikira korupsi itu murni karena orang-orang Indonesia saja. Korupsi terjadi karena lobby-lobby agen CIA untuk meng-goal-kan UU Migas, USAID yang menggelontorkan dana milyaran dollar untuk membantu mendanai penyusunan UU Migas dan mineral lewat kamuflase pelatihan orang-orang ESDM dan stake holder yang lain.
Ini analog dengan pengembangan mobil listrik nasional. Saat Bosch, perusahaan asal Jerman mengatakan bahwa Indonesia masih butuh 20 tahun lagi untuk bisa mengembangkan mobil listrik yang siap dipasarkan.
Dahlan Iskan dan Kemenristek tidak percaya ucapan orang-orang Bosch itu, dan tidak mau tahu omongan orang asing yang melemahkan. Pak Dahlan dan Kemenristek jalan saja, "just do it", kerjakan saja .... maka terwujudlah dalam waktu kurang dari 1 tahun bus listrik Elvina untuk melayani trayek umum di Yogyakarta. Sekali lagi penulis ulangi, kurang dari 1 tahun ! Bus ini akan dijadikan kendaraan umum untuk melayanai masyarakat Yogya yang bergerak dalam satu jalur antara dua titik, sambil terus dibenahi kekuarangannya, dan disempurnakan dari waktu ke waktu sebelum akhirnya siap untuk diproduksi secara besar-besaran.
Ya, begitulah seharusnya kita bekerja. Just Do it ! Tidak usah pedulikan kritikan dan omongan orang asing yang menyurutkan langkah kita, men-demotivasi diri kita, dan hendaknya kita selalu optimis. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dengan lebih dahulu memperbaiki mental buruk mudah menyerah, pesimis, dan melemahkan diri sendiri. Cukup sudah kita diinjak-injak oleh Belanda selama berabad-abad, dan kita coba menatap ke depan bahwa kita mampu menjadi bangsa yang kuat dan hebat. Penguasaan teknologi maju bukan hak eksklusif bangsa kulit putih semata, melainkan hak semua bangsa di dunia tanpa kecuali, termasuk bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment