Monday, 30 September 2013

Merawat Kesaktian Pancasila

Merawat Kesaktian PancasilaTANGGAL 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ini merujuk pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang mencoba menggulingkan kekuasaan dan mengubah dasar negara Pancasila.

Selain itu, peristiwa lain yang menunjukkan kesaktian Pancasila adalah upaya pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Terlepas dari kontroversi sejarah yang masih tersisa, peristiwa tersebut juga telah memperteguh keyakinan bangsa Indonesia terhadap Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara. Kendati demikian, tentu sudah bukan saatnya lagi memosisikan Pancasila sebagai makhluk hidup ataupun spirit yang berbeda dan terpisah dari masyarakat dan bangsa.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara, bukan makhluk hidup yang memiliki kesaktian dan menjadi sandaran untuk melindungi bangsa dan negara. Sebaliknya, kesaktian Pancasila terletak pada penerimaan masyarakat dan bangsa terhadap kebenaran dan kesesuaian nilai- nilai Pancasila sebagai dasar dan bintang pemandu dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ancaman terhadap posisi dan keberlakuan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara akan senantiasa muncul. Jika pada 30 September 1965 Pancasila menghadapi ancaman nyata berupa penggantian pandangan hidup bangsa dan dasar negara melalui kekuatan bersenjata dengan menggulingkan kekuasaan yang sah, ancaman saat ini dan ke depan lebih halus bahkan tidak terlihat, namun dengan tingkat dan daya rusak yang tidak kalah berbahayanya dengan ancaman melalui penggulingan kekuasaan.

Dalam konteks bernegara, ancaman yang paling kuat dan berbahaya adalah peminggiran dan pengesampingan nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan negara. Akibat itu, negara dijalankan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ancaman nyata yang sudah dirasakan berbagai pihak adalah ada kepentingan-kepentingan asing, baik dari negara lain maupun korporasi internasional. Perkembangan global memacu kompetisi antarnegara dan korporasi internasional.

Mereka berupaya membuka jalan untuk mengambil keuntungan dengan memengaruhi hukum dan kebijakan negara dengan berbagai cara dan instrumen, mulai dari introduksi sistem asing sampai proteksi dari negara. Dalam kehidupan ekonomi, ini dapat dirasakan dari kuatnya sistem ekonomi liberal yang didesakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Ini secara yuridis sudah dapat dilihat dari pembatalan UU Ketenagalistrikan, pengujian UU Migas, dan pembatalan keberadaan BP Migas oleh MK.

Tentu saja pengaruh luar yang patut dipertanyakan kesesuaiannya dengan Pancasila tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, tapi juga terjadi di bidang politik dan sosial budaya. Sistem dan budaya politik yang berkembang pesat saat ini sudah saatnya dievaluasi untuk dikembalikan ke dalam kerangka demokrasi Pancasila yang mengedepankan “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Ancaman terhadap Pancasila tentu saja tidak hanya berasal dari luar bangsa Indonesia atau dari ideologi lain. Ancaman terbesar justru ada dari dalam bangsa Indonesia. Keberagaman masyarakat yang saling berinteraksi melahirkan persepsi dan keyakinan terhadap tata nilai tertentu yang memengaruhi pemaknaan terhadap nilai-nilai Pancasila yang secara tidak sadar telah mengingkari nilai-nilai Pancasila. Nilai persatuan Indonesia yang semula dimaknai sebagai pengutamaan identitas satu bangsa di atas bangsa lain sehingga lahir sikap hidup toleran terhadap perbedaan di dalam kehidupan bersama bergeser pemaknaannya menjadi toleransi untuk hidup dalam satu negara Indonesia, tetapi di lokasi yang berbeda.

Dalam konteks ini Pancasila menghadapi ancaman internal yang tidak secara nyata mengganti pandangan hidup bangsa dan dasar negara, namun secara jelas telah membajak dan memanipulasi pemaknaan nilai-nilai Pancasila, baik dalam aturan maupun penyelenggaraan negara. Ancaman internal juga muncul dari sikap permisif masyarakat dan segenap penyelenggara negara.

 Walaupun beberapa kalangan telah kembali memiliki antusiasme untuk melakukan studi dan mendorong elaborasi relevansi nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara, itu belum menjangkau masyarakat luas. Contoh paling mudah dilihat adalah masih maraknya politik uang dalam berbagaihajatanpemilu. Halyang sama juga terjadi pada penyelenggara negara, belum banyak yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan acuan dalam pembentukan hukum dan pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan.

Ancaman di atas lebih berbahaya karena tidak mudah dikenali. Tidak ada satu kelompok pun yang dapat diberi label anti-Pancasila atau berupaya mengganti Pancasila. Lebih sulit lagi karena sangat mungkin semua kelompok dan pandangan akan mengklaim diri sebagai paling sesuai dengan Pancasila. Akibat itu, suatu saat kita mungkin akan dikejutkan dengan kesadaran yang terlambat bahwa Pancasila memang masih diakui dalam berbagai seremoni kenegaraan, namun telah hilang dari substansi hukum dan kebijakan negara.

Untuk menghadapi ancaman tersebut, dibutuhkan kesaktian dengan level lebih tinggi. Yang dibutuhkan bukan kesaktian berupa kekuatan sipil bersenjata atau bahkan satu pasukan khusus. Yang dibutuhkan adalah kepedulian dan komitmen setiap lapisan masyarakat dan segenap penyelenggara negara terhadap Pancasila. Baik ancaman dari luar maupun dari dalam hanya dapat dihadapi dengan cara merawat kesaktian Pancasila yang bersumber pada kepedulian dan komitmen masyarakat dan penyelenggara negara terhadap Pancasila.

Sebesar apa pun kekuatan asing yang hendak mengendalikan hukum dan kebijakan nasional akan mudah diinsyafi dan dikembalikan ke dalam kerangka dasar Pancasila. Demikian pula dengan dinamika internal akan senantiasa dipandu oleh nilai-nilai dasar Pancasila sehingga tidak mungkin berkembang hingga terjadi pertentangan yang saling meniadakan.

JANEDJRI M GAFFAR
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

No comments:

Post a Comment