TANGGAL 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Ini merujuk pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang
mencoba menggulingkan kekuasaan dan mengubah dasar negara Pancasila.
Selain
itu, peristiwa lain yang menunjukkan kesaktian Pancasila adalah upaya
pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Terlepas dari kontroversi sejarah
yang masih tersisa, peristiwa tersebut juga telah memperteguh keyakinan
bangsa Indonesia terhadap Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan
dasar negara. Kendati demikian, tentu sudah bukan saatnya lagi
memosisikan Pancasila sebagai makhluk hidup ataupun spirit yang berbeda
dan terpisah dari masyarakat dan bangsa.
Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa dan dasar negara, bukan makhluk hidup yang
memiliki kesaktian dan menjadi sandaran untuk melindungi bangsa dan
negara. Sebaliknya, kesaktian Pancasila terletak pada penerimaan
masyarakat dan bangsa terhadap kebenaran dan kesesuaian nilai- nilai
Pancasila sebagai dasar dan bintang pemandu dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ancaman
terhadap posisi dan keberlakuan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
dan dasar negara akan senantiasa muncul. Jika pada 30 September 1965
Pancasila menghadapi ancaman nyata berupa penggantian pandangan hidup
bangsa dan dasar negara melalui kekuatan bersenjata dengan menggulingkan
kekuasaan yang sah, ancaman saat ini dan ke depan lebih halus bahkan
tidak terlihat, namun dengan tingkat dan daya rusak yang tidak kalah
berbahayanya dengan ancaman melalui penggulingan kekuasaan.
Dalam
konteks bernegara, ancaman yang paling kuat dan berbahaya adalah
peminggiran dan pengesampingan nilai-nilai Pancasila dalam
penyelenggaraan negara. Akibat itu, negara dijalankan tidak sesuai atau
bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ancaman nyata yang
sudah dirasakan berbagai pihak adalah ada kepentingan-kepentingan asing,
baik dari negara lain maupun korporasi internasional. Perkembangan
global memacu kompetisi antarnegara dan korporasi internasional.
Mereka
berupaya membuka jalan untuk mengambil keuntungan dengan memengaruhi
hukum dan kebijakan negara dengan berbagai cara dan instrumen, mulai
dari introduksi sistem asing sampai proteksi dari negara. Dalam
kehidupan ekonomi, ini dapat dirasakan dari kuatnya sistem ekonomi
liberal yang didesakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Ini
secara yuridis sudah dapat dilihat dari pembatalan UU
Ketenagalistrikan, pengujian UU Migas, dan pembatalan keberadaan BP
Migas oleh MK.
Tentu saja pengaruh luar yang patut dipertanyakan
kesesuaiannya dengan Pancasila tidak hanya terjadi di bidang ekonomi,
tapi juga terjadi di bidang politik dan sosial budaya. Sistem dan budaya
politik yang berkembang pesat saat ini sudah saatnya dievaluasi untuk
dikembalikan ke dalam kerangka demokrasi Pancasila yang mengedepankan
“hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Ancaman
terhadap Pancasila tentu saja tidak hanya berasal dari luar bangsa
Indonesia atau dari ideologi lain. Ancaman terbesar justru ada dari
dalam bangsa Indonesia. Keberagaman masyarakat yang saling berinteraksi
melahirkan persepsi dan keyakinan terhadap tata nilai tertentu yang
memengaruhi pemaknaan terhadap nilai-nilai Pancasila yang secara tidak
sadar telah mengingkari nilai-nilai Pancasila. Nilai persatuan Indonesia
yang semula dimaknai sebagai pengutamaan identitas satu bangsa di atas
bangsa lain sehingga lahir sikap hidup toleran terhadap perbedaan di
dalam kehidupan bersama bergeser pemaknaannya menjadi toleransi untuk
hidup dalam satu negara Indonesia, tetapi di lokasi yang berbeda.
Dalam
konteks ini Pancasila menghadapi ancaman internal yang tidak secara
nyata mengganti pandangan hidup bangsa dan dasar negara, namun secara
jelas telah membajak dan memanipulasi pemaknaan nilai-nilai Pancasila,
baik dalam aturan maupun penyelenggaraan negara. Ancaman internal juga
muncul dari sikap permisif masyarakat dan segenap penyelenggara negara.
Walaupun
beberapa kalangan telah kembali memiliki antusiasme untuk melakukan
studi dan mendorong elaborasi relevansi nilai-nilai Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa dan dasar negara, itu belum menjangkau masyarakat
luas. Contoh paling mudah dilihat adalah masih maraknya politik uang
dalam berbagaihajatanpemilu. Halyang sama juga terjadi pada
penyelenggara negara, belum banyak yang menjadikan nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar dan acuan dalam pembentukan hukum dan pengambilan
keputusan kebijakan pemerintahan.
Ancaman di atas lebih berbahaya
karena tidak mudah dikenali. Tidak ada satu kelompok pun yang dapat
diberi label anti-Pancasila atau berupaya mengganti Pancasila. Lebih
sulit lagi karena sangat mungkin semua kelompok dan pandangan akan
mengklaim diri sebagai paling sesuai dengan Pancasila. Akibat itu, suatu
saat kita mungkin akan dikejutkan dengan kesadaran yang terlambat bahwa
Pancasila memang masih diakui dalam berbagai seremoni kenegaraan, namun
telah hilang dari substansi hukum dan kebijakan negara.
Untuk
menghadapi ancaman tersebut, dibutuhkan kesaktian dengan level lebih
tinggi. Yang dibutuhkan bukan kesaktian berupa kekuatan sipil bersenjata
atau bahkan satu pasukan khusus. Yang dibutuhkan adalah kepedulian dan
komitmen setiap lapisan masyarakat dan segenap penyelenggara negara
terhadap Pancasila. Baik ancaman dari luar maupun dari dalam hanya dapat
dihadapi dengan cara merawat kesaktian Pancasila yang bersumber pada
kepedulian dan komitmen masyarakat dan penyelenggara negara terhadap
Pancasila.
Sebesar apa pun kekuatan asing yang hendak
mengendalikan hukum dan kebijakan nasional akan mudah diinsyafi dan
dikembalikan ke dalam kerangka dasar Pancasila. Demikian pula dengan
dinamika internal akan senantiasa dipandu oleh nilai-nilai dasar
Pancasila sehingga tidak mungkin berkembang hingga terjadi pertentangan
yang saling meniadakan.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
No comments:
Post a Comment