Monday, 30 September 2013

kami sangat mencintaimu , saudarah kami di papua..

Tidak hanya bertugas mengamankan wilayah operasinya, anggota Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Kabupaten Puncak Jaya, Papua juga merangkap sebagai pengajar pada sekolah-sekolah di wilayah tersebut.
130521_ad-tni.jpgHal serupa juga terjadi di pelosok Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, tepatnya di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Prajurit TNI AD dari Batalyon 413 Kostrad yang bertugas di wilayah itu mengemban dua misi sekaligus, yaitu menjaga pos-pos perbatasan dan mengajar di sekolah-sekolah.
Komandan Yonif (Danyonif) 751 Raider Letkol Inf Luqman Arief mengungkapkan anggotanya juga tergerak untuk memberikan pengetahuan kepada warga setempat, khususnya yang masih anak-anak atau usia sekolah.
“Memang bukan protab kami memberikan pendidikan, tetapi melihat terkadang masih ada daerah yang kekurangan tenaga pendidik, maka tidak ada salahnya anggota kami membantu,” ujarnya.
Danyonif menjelaskan biasanya anggotanya yang juga merangkap sebagai guru, memiliki masa tugas selama 6-8 bulan. Jadwal mengajarnya pun tidak setiap hari, tetapi seminggu hanya 2-3 kali.
“Hal yang jelas ditekankan disini bahwa anggota diharapkan tidak mengesampingkan tugas pokoknya dalam menjaga keamanan,” katanya.
Di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, prajurit Batalyon 413 Kostrad yang bertugas menjaga perbatasan mulai April 2012, merangkap sebagai pengajar pada salah satu sekolah filial (kelas jauh) dari SD Negeri 012 Seimenggaris, Kecamatan Seimenggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Suanta, prajurit  yang ditugaskan di Pos Bersama TNI dengan Tentara Darat Diraja Malaysia ini mengajar pada hari Senin hingga Sabtu, dan setiap Sabtu sore kembali ke posnya untuk menjalankan tugas pokok sebagai penjaga keamanan perbatasan.
TNI-AD yang pernah ditugaskan sebagai Satgas Pamtas Indonesia-Papua Nugini di Provinsi Papua pada 2003, juga menjadi pengajar di sekolah perbatasan di sana.
Di Nunukan, Suanta yang ditugaskan mengajar di sekolah di Kampung Perum Desa Tabur Lestari tersebut, sebenarnya tidak sendiri. Tugas yang sama juga diemban temannya, Prajurit Satu (Pratu) Danang.
Menurut Suanta, kadangkala ketika sedang mengajar, dia terkena air kencing dari atas rumah. “Bagitulah suka-dukanya. Sasananya memang sudah demikian, risiko belajar-mengajar di bawah kolong rumah panggung warga,” katanya.
Kelas jauh tempatnya mengajar terdiri atas tiga kelas dengan jumlah murid sebanyak 50 orang, yaitu Kelas I, II dan III. Meja dan bangku belajarnya pun merupakan bantuan atau swadaya masyarakat setempat.
Fasilitas mengajar lainnya, seperti buku hampir tidak ada, kecuali pegangan guru. Karena itu, metode mengajar yang digunakannya setiap hari adalah menulis di papan tulis lalu murid menyalin ke buku pelajaran.
Selain tidak memiliki sarana prasarana belajar, sekolah tersebut hanya diajar oleh empat orang guru (di luar Suanta dan rekannya), yang semuanya masih berstatus honorer, tanpa pernah mendapatkan gaji dari pemerintah.
Guru-guru di sekolah itu sekadar mengabdikan diri, hanya karena keprihatinannya terhadap masa depan anak-anak di kampung itu.
Kadangkala juga, guru honorer tidak masuk mengajar karena mereka harus bekerja di kebunnya demi menutupi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Suanta menceritakan, setiap hari dia mengajar untuk semua mata pelajaran, kecuali bidang studi agama yang punya guru khusus. “Yang membuat saya bersemangat, anak-anak di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia itu memiliki antusiasme yang tinggi dalam menuntut ilmu,” katanya.

No comments:

Post a Comment