Tidak hanya bertugas mengamankan wilayah operasinya, anggota Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Kabupaten Puncak Jaya, Papua juga merangkap sebagai pengajar pada sekolah-sekolah di wilayah tersebut.
Hal serupa juga terjadi di pelosok Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Timur, tepatnya di perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
Prajurit TNI AD dari Batalyon 413 Kostrad yang bertugas di wilayah itu
mengemban dua misi sekaligus, yaitu menjaga pos-pos perbatasan dan
mengajar di sekolah-sekolah.
Komandan Yonif (Danyonif) 751 Raider
Letkol Inf Luqman Arief mengungkapkan anggotanya juga tergerak untuk
memberikan pengetahuan kepada warga setempat, khususnya yang masih
anak-anak atau usia sekolah.
“Memang bukan protab kami memberikan
pendidikan, tetapi melihat terkadang masih ada daerah yang kekurangan
tenaga pendidik, maka tidak ada salahnya anggota kami membantu,”
ujarnya.
Danyonif menjelaskan biasanya anggotanya yang juga
merangkap sebagai guru, memiliki masa tugas selama 6-8 bulan. Jadwal
mengajarnya pun tidak setiap hari, tetapi seminggu hanya 2-3 kali.
“Hal
yang jelas ditekankan disini bahwa anggota diharapkan tidak
mengesampingkan tugas pokoknya dalam menjaga keamanan,” katanya.
Di
wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, prajurit Batalyon 413
Kostrad yang bertugas menjaga perbatasan mulai April 2012, merangkap
sebagai pengajar pada salah satu sekolah filial (kelas jauh) dari SD
Negeri 012 Seimenggaris, Kecamatan Seimenggaris, Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Timur.
Suanta, prajurit yang ditugaskan di Pos Bersama
TNI dengan Tentara Darat Diraja Malaysia ini mengajar pada hari Senin
hingga Sabtu, dan setiap Sabtu sore kembali ke posnya untuk menjalankan
tugas pokok sebagai penjaga keamanan perbatasan.
TNI-AD yang
pernah ditugaskan sebagai Satgas Pamtas Indonesia-Papua Nugini di
Provinsi Papua pada 2003, juga menjadi pengajar di sekolah perbatasan di
sana.
Di Nunukan, Suanta yang ditugaskan mengajar di sekolah di
Kampung Perum Desa Tabur Lestari tersebut, sebenarnya tidak sendiri.
Tugas yang sama juga diemban temannya, Prajurit Satu (Pratu) Danang.
Menurut
Suanta, kadangkala ketika sedang mengajar, dia terkena air kencing dari
atas rumah. “Bagitulah suka-dukanya. Sasananya memang sudah demikian,
risiko belajar-mengajar di bawah kolong rumah panggung warga,” katanya.
Kelas
jauh tempatnya mengajar terdiri atas tiga kelas dengan jumlah murid
sebanyak 50 orang, yaitu Kelas I, II dan III. Meja dan bangku belajarnya
pun merupakan bantuan atau swadaya masyarakat setempat.
Fasilitas
mengajar lainnya, seperti buku hampir tidak ada, kecuali pegangan guru.
Karena itu, metode mengajar yang digunakannya setiap hari adalah
menulis di papan tulis lalu murid menyalin ke buku pelajaran.
Selain
tidak memiliki sarana prasarana belajar, sekolah tersebut hanya diajar
oleh empat orang guru (di luar Suanta dan rekannya), yang semuanya masih
berstatus honorer, tanpa pernah mendapatkan gaji dari pemerintah.
Guru-guru di sekolah itu sekadar mengabdikan diri, hanya karena keprihatinannya terhadap masa depan anak-anak di kampung itu.
Kadangkala
juga, guru honorer tidak masuk mengajar karena mereka harus bekerja di
kebunnya demi menutupi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Suanta
menceritakan, setiap hari dia mengajar untuk semua mata pelajaran,
kecuali bidang studi agama yang punya guru khusus. “Yang membuat saya
bersemangat, anak-anak di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia itu
memiliki antusiasme yang tinggi dalam menuntut ilmu,” katanya.
No comments:
Post a Comment