DALAM sejarah Indonesia, Tanah Rencong Aceh (kini bernama Nanggroe Aceh
Darussalam) memang penuh dengan keistimewaan. Inilah satu-satunya
wilayah Indonesia yang tak berhasil ditaklukkan Belanda dalam perang
yang berkepanjangan. Perlawanan gigih rakyat Aceh yang dipimpin Teuku
Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak Dhien atau Cut Nyak Meutia, membuat
Belanda harus bekerja keras dan menjadi salah satu perang teralot yang
membuat kas Pemerintah Belanda terkuras.
Dalam Perjanjian Meja
Bundar Desember 1949 di Den Haag, disebutkan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) adalah bekas jajahan Belanda. Faktanya, Aceh
yang tak pernah benar-benar dikuasai Belanda, dengan sukarela menjadi
bagian dari NKRI. Namun, di masa Orde Lama, Soekarno yang masih
memfokuskan pembangunan di Jawa dan terkesan “mengabaikan” luar Jawa,
membuat pemberontakan separatis terjadi di banyak daerah, termasuk
Gerakan DI/TII Daud Beurueh. Gerakan ini berhasil dipatahkan, namun
sejarah Aceh di kemudian hari tetap penuh dengan darah ketika Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) yang dikobarkan Hasan Tiro membuat Aceh menjadi
Daerah Operasi Militer (DOM) yang berkepanjangan. Mereka ingin
memisahkan diri dari NKRI. Ribuan rakyat Aceh dan TNI saling bunuh.
Padahal ketika itu status Aceh adalah Daerah Istimewa (DI), sama dengan
status Kesultanan Jogjakarta.
Ketika terjadi kesepakatan damai
antara RI dan GAM berdasarkan Perjanjian Helsinki tahun 2005, Aceh
mendapatkan otonomi khusus yang benar-benar khusus dan istimewa. Salah
satunya adalah diperbolehkannya partai lokal ikut Pemilu, memiliki
bendera tersendiri, logo khusus dan himne daerah. Pada 25 Maret 2013,
DPRD Aceh mengesahkan menetapkan bendera yang dulu dipakai GAM resmi
menjadi bendera Aceh dalam Qanun (Perda) Nomor 3 Tahun 2013. Bendera
berwarna merah dengan lambang bulan sabit dan bintang tersebut
diperjuangkan Partai Aceh, partai yang di dalamnya para mantan petinggi
GAM.
Pro-kontra kemudian bergulir kencang. Di luar banyaknya
masyarakat Aceh yang pro, Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda
dan beberapa elemen masyarakat Aceh juga tak setuju dengan penetapan
bendera GAM sebagai bendera Aceh. Salah satunya karena hal itu
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2007 tentang
Lambang Daerah. Di pasal 6 ayat (4) disebutkan bahwa desain logo dan
bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam NKRI. Semua orang
tahu, dulu GAM adalah organisasi separatis.
Penghormatan
terhadap keistimewaan Aceh memang harus dilakukan melihat sejarah daerah
ini. Tetapi, pengesahan qanun tentang bendera mirip GAM sebagai bendera
resmi Aceh, bisa jadi akan menimbulkan konflik baru dalam tatanan
politik kita, dan melukai sebagian masyarakat kita. Pihak TNI yang dulu
menjadi musuh utama GAM, bisa mengingatkan konflik di masa lalu. Ancaman
separatisme yang terus terjadi di Papua dan Maluku, misalnya, akan
merasa mendapat angin jika qanun ini benar-benar disetujui. Jika
Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus
meningkatkan upaya separatis, tentu ini akan sangat merepotkan bangsa
kita.
Sekali lagi, kita menghargai keistimewaan Aceh yang memang
benar-benar istimewa, tetapi jangan sampai itu melukai rasa cinta dan
rasa keadilan rakyat Indonesia lainnya. Jangan sampai hal itu justru
akan menjadi bara konflik baru yang sekian lama sudah berakhir di Aceh.
Semoga.***
No comments:
Post a Comment