Sastrawan besar Herman Hesse, lewat Siddharta,
bukunya yang terkenal itu pernah berujar, “Jangan menyerah, percayalah
selalu pada kekuatanmu dan jangan kau perlemah kekuatanmu dengan segala
keresahan.” Seperti mendaras ayat yang dinukil dari buku itu, akhir
pekan lalu (12/10), saya menyaksikan tim nasional Indonesia U-19 bermain
dengan begitu trengginas kala menghadapi Korea Selatan pada babak
penyisihan AFC Cup di Gelora Bung Karno.
Bukan hanya sekadar bermain dengan semangat pantang menyerah yang kokoh dan militan, anak asuh coach
Indra Syafri itu meyuguhkan permainan sepakbola yang cantik dan enak
ditonton. Matang dalam skema, cerdik dalam taktik, atraktif dalam skill
individu. Saya seperti bukan menyaksikan permainan tim nasional
sepakbola Indonesia.
Sebenarnya bukan hanya saat
pertandingan melawan Korea Selatan yang dramatis malam itu saya
terkesima. Hati saya tertambat pada permainan tim Garuda Muda ini
semenjak kepak mereka begitu gagah nian melibas lawan-lawannya pada
perhelatan AFF Cup kala September silam. Permainan menarik timnas U-19
asuhan Indra Syafri tergolong mengejutkan, apalagi dibandingkan dengan
timnas senior. Mereka tampil menarik, menghibur, dan menang.
Permainan berani dengan tempo cepat
lewat operan pendek dari kaki ke kaki menjadi ciri khas mereka. Tak
hanya itu, semangat anak-anak muda ini juga mengundang decak kagum.
Mereka bermain dengan berani, menghadapi juara bertahan sekaligus juara
AFC Cup sebanyak 12 kali sekalipun. Namun, sepakbola juga perkara nyali
menjemput keberuntungan. Menyoal ini saya teringat ucapan Michel
Platini, legenda timnas Prancis, “Football is more about making the right pass at the right time”.
Sepakbola bukan hanya sekadar soal urusan teknis. Tapi juga semangat
bertanding yang gigih. Timnas U-19 memberi contoh soal itu.
Pentingnya Potensi Daerah
Wajah lain tim
Garuda Muda yang gagah nian ini dibentuk oleh anak-anak daerah. Indra
Syafri seperti memberi bukti, bahwa setiap anak Indonesia memiliki hak
yang sama untuk mengenakan kostum merah putih dengan emblem garuda di
dada kiri. Tim nasional bukanlah monopoli anak kota.
Indra Syafri membesarkan tim Garuda Muda ini dengan mengawalinya lewat laku blusukan
ke daerah-daerah di pelosok Nusantara. Dari Bireun hingga Ternate. Dari
lereng Gunung Lawu hingga lapangan kecil di Jember. Kerja ini adalah
lanjutan dari pemetaan daerah-daerah yang dianggap menyimpan potensi
pemain yang bagus. Sejak 2012, Indra menyambangi tim-tim lokal seantero
Nusantara untuk melakoni pertandingan uji coba dengan tim nasional
U-16 yang ia asuh sebelumnya. Sembari mengukur kekuatan tim, Indra
Syafri sekaligus mengendus potensi-potensi pemain muda berbakat dari
daerah yang ia singgahi, untuk ia ajak bergabung dengan tim nasional
U-19 yang diasuhnya kini.
Upaya dan pertaruhan Indra membuahkan
hasil. Ia berhasil mengumpulkan anak-anak ajaib dari seantero negeri
untuk mngepakkan sayap tim Garuda Muda dalam mengalahkan lawan-lawannya.
Terakhir, tentu saja ketika tim nasional U-19 itu begitu heroik
mengalahkan Taeguk Warriors, Korea Selatan dengan skor 3-2.
Apa yang dilakukan oleh Indra Syafri
seakan memberi amsal bagi siapapun yang menaruh perhatian terhadap tim
nasional Indonesia. Bahwa daerah menyimpan potensi berharga yang bisa
memberikan andil penting untuk kemajuan tim nasional Indonesia.
Faktanya, timnas U-19 yang dilatih mantan pemain PSP Padang 1985-1993
ini memang menunjukkan keragaman daerah di Indonesia. Daerah yang
paling pelosok sekalipun. Indra Syafri sendiri mungkin sudah
mempertimbangkan beberapa aspek mengapa anak-anak daerah mengisi porsi
lebih dalam komposisi pemain di tim nasional Indonesia. Aspek-aspek ini
yang pentingnya potensi anak-anak daerah.
Pertama, tentu saja bahwa
semangat anak-anak daerah cenderung lebih besar dalam memperkuat tim
nasional. Tanpa bermaksud menggeneralisir, ini terkait dengan bagaimana
memanfaatkan kesempatan langka membela tim nasional yang sebelumnya
hanya menjadi impian kosong mereka. Maka ketika kesempatan mahal itu
datang untuk anak-anak yang sebelumnya hanya dikenal dalam level antar
kampung (tarkam) dan kompetisi kasta rendah, maka mereka benar-benar
memanfaatkan sebaik mungkin dengan penuh kebanggaan.
Kedua, menyoal stamina
pemain. Tidak bisa dipungkiri, perkara stamina adalah perkara yang
selama ini menjadi kendala bagi tim nasional pada level usia apapun.
Kendala ini yang kerap menjadi faktor penyulit pemain untuk
menerjemahkan instruksi pelatih, utamanya di paruh kedua pertandingan.
Instruksi pelatih kerap salah terjemah karena pemain disibukkan oleh
stamina mereka sendiri yang kedodoran. Tapi anak-anak daerah, cenderung
memiliki stamina yang bagus karena tempaan alam. Ini bukan tanpa bukti.
Dari hasil tes fisik, nilai VO2max pemain yang berasal dari daerah lebih tinggi dibandingkan dengan capaian VO2max pemain dari kota. Rata-rata di atas 53. Sedangkan standar Asia hanya 53.
Ketiga, faktor terakhir sekaligus terpenting, anak-anak daerah cenderung memainkan sepakbola dengan passion
yang tinggi. Mimpi menjadi pemain tim nasional yang menghuni angan
mereka, tidak lantas membuat mereka bermain sepakbola dengan tendensi
yang culas. Buat mereka, bermain sepakbola adalah kegembiraan. Dan
diberi kepercayaan membela tim nasional adalah kebanggaan. Uang,
ketenaran, kenyamanan, adalah faktor pengikut. Kendati tak bisa
dipungkiri, uang adalah bahasa utama di dunia sepakbola profesional.
Yang jelas, anak-anak daerah di tim
nasional U-19 asuhan Indra Syafri seakan mengingatkan kita bagaimana
sepakbola yang dimainkan dengan kebanggaan dan perasaan mencintai
permainan sepakbola itu sendiri. Cinta yang aneh dan sukar diurai
penjelasannya. Sebagaimana yang diujar oleh Nick Hornby, dalam karya
legendarisnya Fever Pitch (1992): “Sepakbola seperti kita mencintai wanita; muncul dengan tiba-tiba, sulit dijelaskan, tidak kritis, dan tidak mau berpikir dengan
No comments:
Post a Comment