Hanya
dengan bermodalkan senjata bambu runcing rakyat Indonesia di Jakarta
siap mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru
diproklamirkan Bung Karno dan Bung Hatta. Dalam gambar tampak pasukan
BKR (Barisan Keamanan Rakyat) dengan bambu runcing di pundak tengah
berbaris yang secara khusus dibentuk pada 27 Agustus 1945 guna
menghadapi pasukan NICA (Belanda) yang datang untuk menjajah kembali
Indonesia membonceng pasukan sekutu (Inggris).
BKR
kemudian melahirkan Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945 yang
kemudian menjadi TNI hingga sekarang. Pada masa awal revolusi TKR
anggota-anggotanya terdiri dari para pemuda bekeas prajurit PETA, Heiho,
Kaigun, Hizbullah dan Barisan Pelopor.
Setelah
proklamasi kemerdekaan 17/8-1945, para pemuda Jakarta bergerak untuk
menyebarkan berita proklamasi. Bukan hanya ke kampung-kampung di
Jakarta, tapi berbagai pelosok tanah air. ”Lebih baik mati daripada
dijajah kembali,” ungkapan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.
Situasi 63 tahun lalu makin memanas ketika pasukan NICA dengan
membonceng sekutu kembali ke Indonesia.
Semua
kampung di Jakarta kala itu membentuk kubu-kubu pertahanan berupa kawat
berduri dan bambu runcing. Sehingga kalau ada tentara NICA yang masuk
kampung lalu terdengar suara komando :Siaaap. Karenanya zaman itu juga
dinamakan ‘zaman siap’.
Mengingat
peristiwa tersebut sudah berlangsung 63 tahun, dan sudah jarang sekali
yang mengalaminya, baiklah kita ingatkan kembali bagaimana kekejaman
serdadu NICA pada saat revolusi. Mereka menembaki orang yang kelihatan
mencurigakan. Untuk itu, Presiden Soekarno mengumumkan supaya rakyat
tidak keluar rumah setelah pukul delapan malam. Catatan dalam Arsip
Nasional saja delapan ribu rakyat telah dibunuh antara September dan
Desember 1945.
Saya
yang ketika itu baru berusia 9 tahun, menyaksikan pemuda-pemuda di
Kampung Kwitang yang berusia lima dan enam tahun diatas saya, ikut
terjun sebagai tentara pelajar meski harus memanggul bambu runcing.
Banyak
diantaranya menghembuskan napas terakhir akibat peluru NICA. Kala itu
para ibu dikampung-kampung mendirikan dapur umum untuk para pejuang.
Belum dikenal istilah korupsi hingga dalam membela tanah air mereka rela
menymbangkan harta kekayaan yang mereka miliki.
Diantara
pejuang Betawi yang paling ditakuti Belanda ialah KH Nur Ali dari
Bekasi. Sampai Belanda berani memberikan hadiah besar bagi siapa yang
bisa menangkapnya hidup atau mati. Jagoan Betawi, Imam Syafi’ie
menghimpun para preman Pasar Senen menjadi kekuatan yang menakutkan
Belanda. Mereka beroperasi diberbagai kampung di Jakarta.
No comments:
Post a Comment