memang iklan dapat menjadikan bintang sepak bola menjad kaya, tetapi iklan juga yang menenggelamkan potensi dari para pemain sepak bola kita , sebut saja andik vermansyah yang mulia turun potensinya...
Begitu Indonesia menembus final Piala AFF 2010, Nurdin Halid selaku Ketua PSSI langsung memborong pemain ke rumah Aburizal Bakrie untuk bersilaturahmi. Sebelumnya, di tribun kehormatan, rombongan Presiden SBY berjingkratan tatkala Christian Gonzalez membobol gawang Filipina yang mengantarkan Indonesia menembus final untuk ketiga kalinya.
Dua fakta itu mencerminkan betapa sepakbola telah menembus jagad politik di Indonesia. Meski buru-buru Golkar membantah jamuan timnas PSSI itu untuk investasi politik jelang Pemilu 2014 yang pasti langkah itu tetap jadi tanda tanya kita bersama. Kita bisa saja berkata : ada udang di balik batu! Ketua Umum Partai Demokrat, meski berniat, tapi ia terkesan lebih memilih tak masuk wilayah itu. Dalam twitternya, Anas Urbaningrum cuma berkata, ‘’cuma karena menunya masakan rumah, khawatir tidak cocok dengan program gizi timnas.’’
Kita tidak sedang memperbincangkan politik dalam perspektif akademik, melainkan melihat bahwa begitu pandainya kekuasaan memodifikasi olahraga (baca : sepakbola) demi kepentingan politik, baik kelompok maupun golongan. Bola memang sebuah sihir. Kemenangan PSSI atas Filipina kemarin tiba-tiba merubah semuanya. Gonzales tiba-tiba mencuat menjadi buah bibir masyarakat Indonesia, setelah gol-golnya membenamkan Filipina.
Sangat menakjubkan. Hanya dalam hitungan hari, pria berdarah Uruguay ini jadi pahlawan Indonesia. Bahkan lebih menakjubkan lagi, tiba-tiba para petinggi kita menjadi kaya dan dermawan. Nurdin Halid memberikan bonus Rp. 2,5 M dalam bentuk cash, dikirim lewat kardus. Aburizal Bakrie bahkan lebih fenomenal, ia menghibahkan tanahnya di Jonggol, membuat PSSI tergiur memindahkan base camp-nya dari Depok. Kalau akal sehat kita berkata, mestinya tanah itu dihibahkan ke korban lumpur Lapindo!
Itulah, sepakbola menjadi tidak murni lagi. Bukan hanya di Indonesia, di beberapa negara pun, sepakbola tetap jadi komoditi politik. Kita bahkan menjadi heran, tiap menit tayangan televisi tidak henti-hentinya menayangkan kesebelasan kita. Seluruh angle berita dicari bahkan terkesan dicari-dicari. Mendadak, istri Gonzales jadi selebritis, Irfan Bachdim jadi idola baru kaum hawa Indonesia. Sepakbola kemudian jadi komoditi politik pencitraan oleh media. Mereka ingin meraup keuntungan dari pemberitaan.
Sepakbola memang telah jadi agama baru bagi umat manusia. Kadangkala, kita tidak bisa melogikakan ini dengan pendekatan perspektif aqli (akal). Mana mungkin membandingkan pemain dengan penonton. Setetes gaji Christiano Ronaldo yang milyaran perpekan itu tidak bisa dibandingkan dengan cucuran keringat bercucuran petani di kampung yang rela menghabiskan waktunya di warung kopi demi menonton idolanya mengocek bola. Jadi ketika agama baru dijadikan komoditi politik, tentu akan banyak orang yang marah dan jengkel.
Komoditi politik itu pula yang membuat Inggris marah besar ketika kalah dari Qatar dalam pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2018/2022. Inggris bahkan menuduh FIFA telah menerima uang dari negara kaya minyak itu. Inggris memang pantas marah karena mereka begitu yakin akan jadi tuan rumah. Kekalahan Inggris itu kemudian jadi pembicaraan di jagad persepakbolaan dunia.
Sepakbola tetap sebuah permainan, tetapi di dalamnya politik tetap juga asyik untuk dimainkan. Diktator Mussolini bahkan tak segan-segan akan menembak mati pemainnya jika Italia gagal pada Piala Dunia 1934. Syukurnya Italia menang setelah mengalahkan Republik Ceko 2-1 meski banyak pihak curiga karena sebelumnya wasit yang memimpin pertandingan, Ivan Eklind bertemu Benito Mussolini. Penguasa Italia ini perlu sepakbola untuk mengukuhkan kekuasannya di negara Pizza itu. Meski dengan bentuk yang berbeda, di Italia juga, Berlussconi memerlukan klub AC Milan untuk menduduki jabatan Perdana Menteri.
Di negeri ini, betapa begitu besarnya pengaruh sepakbola, sehingga wacana untuk 2014 pun mengemuka dalam ranah politik kekinian Indonesia. Tidak ada yang salah dalam sistem politik kita yang masih kabur ini, akan tetapi sejatinya akan lebih arif jika olahraga milik semua umat ini tidak ’dikotori’ oleh kepentingan politik dan golongan.
Dalam memainkan si bola bundar, pemain kadangkala dibenarkan ’berpolitik’. Dalam dunia politik kita bisa lihat juga ada istilah politik sepak bola, menggocek bola dalam kotak pinalti, mengharapkan ada yang mentekelnya, lalu terjatuh, dan lawannya dapat kartu merah dari wasit, tendangan pinalti pun sebagai kadonya, memanipulasi permainan politik dengan memakai taktik diving seperti yang kerap dialamatkan ke striker gaek Italia, Filipo Inzaghi. Pemain ingin menang dan itu pilihan yang mereka anggap sah-sah saja. Pengadil di lapangan yang akan menghukum atas ketidakprofesionalan pemain.
Politik pemain sepakbola jelas lebih murni dibanding para politikus di gedung wakil rakyat. Tujuan dan keinginan pemain hanya berkeliling di lapangan hijau berukuran panjang 100-110 m x lebar 64-75 m itu. Mereka tidak membawanya ke jagad politk yang lebih luas dan penuh intrik. Selepas itu, mereka akan pasrah dengan hasil pertandingan. Tidak ada waktu yang panjang kecuali 90 menit plus perpanjang waktu. Tidak ada politik aliran dalam lapangan karena mereka berbaur dalam satu skuad yang terlatih untuk sama-sama memenangkan pertandingan. Di sana tidak ada perbedaan suku, agama, latar belakang sosial. Oktovianus Maniani yang asli Papua tidak perduli dengan Yongki Aribowo yang berdarah Tulungagung (Jawa). Bagi mereka, kaos berlambang garuda adalah penyatu untuk satu kebanggaan sebagai Indonesia. Satu tekad, Indonesia jaya!
Bagi seorang pemain sepakbola, kualitas diukur di atas lapangan bukan dengan berapa jumlah uang yang telah digelontorkan untuk pengakuan itu. Mereka mempertaruhkan dua kaki untuk meraih cita-cita semua bagi orang yang ingin kebanggaan itu kembali menancap di bumi pertiwi ini. Itulah kesejatian seorang pemain sepakbola. Pemain sepakbola merintis dari bawah, bukan sebuah proses instan yang serba mendadak bahkan cenderung mengabaikan nilai-nilai kesejatian. Para penggila bola di tanah air pun menyadari proses itu dan karenanya mereka rela merogoh kantong sampai 500 ribu untuk menyaksikan aksi para pemain.
Akan tetapi, syahwat politik para penggila kekuasaan cenderung mencari ruang untuk masuk ke ranah sepakbola. Kadang, sahwat politik itu mengabaikan nilai-nilai sportifitas yang diusung sepakbola. Saya kira, keberhasilan timnas PSSI menembus final AFF 2010 ini bukan sebuah rekayasa politik, tetapi kerja keras yang dibumbui nasionalisme di dada. Jadi tidak ada yang perlu diberi tanda jasa kecuali pemain dan pelatihnya. Tidak ada ruang apapun atasnama sebuah keberhasilan dilakukan oleh elit kekuasaan yang pandainya hanya berjanji dan berjanji. Makanya ketika timnas PSSI berjaya, tidak perlu ada pengakuan yang heroik dari siapapun para elit kekuasaan itu.
Gelinding bola politik kini bergulir tak tentu arah. Pemain sekelas Firman Utina pun angkat bicara menetralisir kecurigaan orang tentang PSSI yang dipolitisasi untuk kepentingan 2014. Sejumlah sesepuh sepakbola angkat bicara sekedar ingin berpartipasi menentramkan kekuatiran itu. Sepakbola telah membius semua orang untuk selalu mewaspadai keinginan sebagian elit demi kekuasaan yang utopis itu.
Kita tentu tidak menginginkan bola bundar itu jatuh ke tangan-tangan kekuasaan yang korup. Biarlah sepakbola dengan dunianya sendiri dan biarkan politik dengan caranya sendiri pula. Sudah ada tempat bermain yang disediakan. Bola di hijau rumput, politik di gemerlap kuasa. Jangan sampai sampai terjadi, kostum timnas PSSI jadi berwarna-warni sesuai aliran politik yang dianut. Jangan kita biarkan, burung garuda di kostum timnas berganti lambang partai politik. Jika terjadi, kita telah mewariskan kecelakaan sejarah pahit kepada anak cucu. *****
Begitu Indonesia menembus final Piala AFF 2010, Nurdin Halid selaku Ketua PSSI langsung memborong pemain ke rumah Aburizal Bakrie untuk bersilaturahmi. Sebelumnya, di tribun kehormatan, rombongan Presiden SBY berjingkratan tatkala Christian Gonzalez membobol gawang Filipina yang mengantarkan Indonesia menembus final untuk ketiga kalinya.
Dua fakta itu mencerminkan betapa sepakbola telah menembus jagad politik di Indonesia. Meski buru-buru Golkar membantah jamuan timnas PSSI itu untuk investasi politik jelang Pemilu 2014 yang pasti langkah itu tetap jadi tanda tanya kita bersama. Kita bisa saja berkata : ada udang di balik batu! Ketua Umum Partai Demokrat, meski berniat, tapi ia terkesan lebih memilih tak masuk wilayah itu. Dalam twitternya, Anas Urbaningrum cuma berkata, ‘’cuma karena menunya masakan rumah, khawatir tidak cocok dengan program gizi timnas.’’
Kita tidak sedang memperbincangkan politik dalam perspektif akademik, melainkan melihat bahwa begitu pandainya kekuasaan memodifikasi olahraga (baca : sepakbola) demi kepentingan politik, baik kelompok maupun golongan. Bola memang sebuah sihir. Kemenangan PSSI atas Filipina kemarin tiba-tiba merubah semuanya. Gonzales tiba-tiba mencuat menjadi buah bibir masyarakat Indonesia, setelah gol-golnya membenamkan Filipina.
Sangat menakjubkan. Hanya dalam hitungan hari, pria berdarah Uruguay ini jadi pahlawan Indonesia. Bahkan lebih menakjubkan lagi, tiba-tiba para petinggi kita menjadi kaya dan dermawan. Nurdin Halid memberikan bonus Rp. 2,5 M dalam bentuk cash, dikirim lewat kardus. Aburizal Bakrie bahkan lebih fenomenal, ia menghibahkan tanahnya di Jonggol, membuat PSSI tergiur memindahkan base camp-nya dari Depok. Kalau akal sehat kita berkata, mestinya tanah itu dihibahkan ke korban lumpur Lapindo!
Itulah, sepakbola menjadi tidak murni lagi. Bukan hanya di Indonesia, di beberapa negara pun, sepakbola tetap jadi komoditi politik. Kita bahkan menjadi heran, tiap menit tayangan televisi tidak henti-hentinya menayangkan kesebelasan kita. Seluruh angle berita dicari bahkan terkesan dicari-dicari. Mendadak, istri Gonzales jadi selebritis, Irfan Bachdim jadi idola baru kaum hawa Indonesia. Sepakbola kemudian jadi komoditi politik pencitraan oleh media. Mereka ingin meraup keuntungan dari pemberitaan.
Sepakbola memang telah jadi agama baru bagi umat manusia. Kadangkala, kita tidak bisa melogikakan ini dengan pendekatan perspektif aqli (akal). Mana mungkin membandingkan pemain dengan penonton. Setetes gaji Christiano Ronaldo yang milyaran perpekan itu tidak bisa dibandingkan dengan cucuran keringat bercucuran petani di kampung yang rela menghabiskan waktunya di warung kopi demi menonton idolanya mengocek bola. Jadi ketika agama baru dijadikan komoditi politik, tentu akan banyak orang yang marah dan jengkel.
Komoditi politik itu pula yang membuat Inggris marah besar ketika kalah dari Qatar dalam pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2018/2022. Inggris bahkan menuduh FIFA telah menerima uang dari negara kaya minyak itu. Inggris memang pantas marah karena mereka begitu yakin akan jadi tuan rumah. Kekalahan Inggris itu kemudian jadi pembicaraan di jagad persepakbolaan dunia.
Sepakbola tetap sebuah permainan, tetapi di dalamnya politik tetap juga asyik untuk dimainkan. Diktator Mussolini bahkan tak segan-segan akan menembak mati pemainnya jika Italia gagal pada Piala Dunia 1934. Syukurnya Italia menang setelah mengalahkan Republik Ceko 2-1 meski banyak pihak curiga karena sebelumnya wasit yang memimpin pertandingan, Ivan Eklind bertemu Benito Mussolini. Penguasa Italia ini perlu sepakbola untuk mengukuhkan kekuasannya di negara Pizza itu. Meski dengan bentuk yang berbeda, di Italia juga, Berlussconi memerlukan klub AC Milan untuk menduduki jabatan Perdana Menteri.
Di negeri ini, betapa begitu besarnya pengaruh sepakbola, sehingga wacana untuk 2014 pun mengemuka dalam ranah politik kekinian Indonesia. Tidak ada yang salah dalam sistem politik kita yang masih kabur ini, akan tetapi sejatinya akan lebih arif jika olahraga milik semua umat ini tidak ’dikotori’ oleh kepentingan politik dan golongan.
Dalam memainkan si bola bundar, pemain kadangkala dibenarkan ’berpolitik’. Dalam dunia politik kita bisa lihat juga ada istilah politik sepak bola, menggocek bola dalam kotak pinalti, mengharapkan ada yang mentekelnya, lalu terjatuh, dan lawannya dapat kartu merah dari wasit, tendangan pinalti pun sebagai kadonya, memanipulasi permainan politik dengan memakai taktik diving seperti yang kerap dialamatkan ke striker gaek Italia, Filipo Inzaghi. Pemain ingin menang dan itu pilihan yang mereka anggap sah-sah saja. Pengadil di lapangan yang akan menghukum atas ketidakprofesionalan pemain.
Politik pemain sepakbola jelas lebih murni dibanding para politikus di gedung wakil rakyat. Tujuan dan keinginan pemain hanya berkeliling di lapangan hijau berukuran panjang 100-110 m x lebar 64-75 m itu. Mereka tidak membawanya ke jagad politk yang lebih luas dan penuh intrik. Selepas itu, mereka akan pasrah dengan hasil pertandingan. Tidak ada waktu yang panjang kecuali 90 menit plus perpanjang waktu. Tidak ada politik aliran dalam lapangan karena mereka berbaur dalam satu skuad yang terlatih untuk sama-sama memenangkan pertandingan. Di sana tidak ada perbedaan suku, agama, latar belakang sosial. Oktovianus Maniani yang asli Papua tidak perduli dengan Yongki Aribowo yang berdarah Tulungagung (Jawa). Bagi mereka, kaos berlambang garuda adalah penyatu untuk satu kebanggaan sebagai Indonesia. Satu tekad, Indonesia jaya!
Bagi seorang pemain sepakbola, kualitas diukur di atas lapangan bukan dengan berapa jumlah uang yang telah digelontorkan untuk pengakuan itu. Mereka mempertaruhkan dua kaki untuk meraih cita-cita semua bagi orang yang ingin kebanggaan itu kembali menancap di bumi pertiwi ini. Itulah kesejatian seorang pemain sepakbola. Pemain sepakbola merintis dari bawah, bukan sebuah proses instan yang serba mendadak bahkan cenderung mengabaikan nilai-nilai kesejatian. Para penggila bola di tanah air pun menyadari proses itu dan karenanya mereka rela merogoh kantong sampai 500 ribu untuk menyaksikan aksi para pemain.
Akan tetapi, syahwat politik para penggila kekuasaan cenderung mencari ruang untuk masuk ke ranah sepakbola. Kadang, sahwat politik itu mengabaikan nilai-nilai sportifitas yang diusung sepakbola. Saya kira, keberhasilan timnas PSSI menembus final AFF 2010 ini bukan sebuah rekayasa politik, tetapi kerja keras yang dibumbui nasionalisme di dada. Jadi tidak ada yang perlu diberi tanda jasa kecuali pemain dan pelatihnya. Tidak ada ruang apapun atasnama sebuah keberhasilan dilakukan oleh elit kekuasaan yang pandainya hanya berjanji dan berjanji. Makanya ketika timnas PSSI berjaya, tidak perlu ada pengakuan yang heroik dari siapapun para elit kekuasaan itu.
Gelinding bola politik kini bergulir tak tentu arah. Pemain sekelas Firman Utina pun angkat bicara menetralisir kecurigaan orang tentang PSSI yang dipolitisasi untuk kepentingan 2014. Sejumlah sesepuh sepakbola angkat bicara sekedar ingin berpartipasi menentramkan kekuatiran itu. Sepakbola telah membius semua orang untuk selalu mewaspadai keinginan sebagian elit demi kekuasaan yang utopis itu.
Kita tentu tidak menginginkan bola bundar itu jatuh ke tangan-tangan kekuasaan yang korup. Biarlah sepakbola dengan dunianya sendiri dan biarkan politik dengan caranya sendiri pula. Sudah ada tempat bermain yang disediakan. Bola di hijau rumput, politik di gemerlap kuasa. Jangan sampai sampai terjadi, kostum timnas PSSI jadi berwarna-warni sesuai aliran politik yang dianut. Jangan kita biarkan, burung garuda di kostum timnas berganti lambang partai politik. Jika terjadi, kita telah mewariskan kecelakaan sejarah pahit kepada anak cucu. *****
No comments:
Post a Comment