OLEH: HENDRI F. ISNAENI
PADA 15 Februari 1958, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro.
Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno (Soekarno hi) bertuliskan:
"Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan
bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15
Februari 1958. Soekarno."
Ichiki Tatsuo lahir di kota kecil Taraki, prefektur Kumamoto, bagian
selatan Kyushu. Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Ketika kecil,
orangtuanya bercerai, dia ikut ibunya. Ichiki dibesarkan saat Jepang
berada pada masa transisi. Kebebasan dan demokrasi selama zaman Taisho
(1912-1926) mulai tergerus oleh tekanan militer pada masa Showa
(1926-1989). Banyak pemuda desa seperti juga Ichiki bercita-cita mencari
kehidupan baru di Amerika Selatan atau Samudra Pasifik bagian selatan,
yaitu Asia Tenggara.
Kesempatan itu pun datang. Datang surat dari teman sekampung, Tsuruoka
Kazuo, yang sukses mendirikan toko kelontong –dikenal dengan sebutan
toko Jepang– di kota Pagar Alam, dekat Palembang, Sumatra Selatan.
Isinya: mengundang Ichiki untuk datang dan bekerja di studio foto
Miyahata di Palembang. Saat itu Ichiki berusia 21 tahun. Dia
meninggalkan bangku sekolah menengah sebelum lulus dan magang di sebuah
studio foto, dekat kampungnya. Pada 22 Januari 1928, Ichiki pun
berangkat.
"Dia bermimpi menjalankan studio foto terbesar di Samudra Pasifik bagian
selatan," tulis Goto dalam “Life and Death of Abdul Rachman (1906-49):
One Aspect of Japanese-Indonesian Relationships," Indonesia, Vol 22, 1976.
Pada 1933, Ichiki datang ke Bandung karena saudara mudanya, Naohiro yang
menyusulnya pada akhir 1929, meninggal dunia. Ichiki tak kembali ke
Palembang tapi tetap di Bandung dan bekerja di studio foto. Merasa tak
nyaman, dia jadi kondektur bus. Tak cocok, dia meninggalkan pekerjaan
ini dan tinggal di rumah Iti, perempuan dari keluarga miskin di sebuah
kampung di Sumedang. Dia menemukan kedamaian, bahkan merasa hampir
sepenuhnya sebagai orang Indonesia. "Ini adalah kelahiran baru Ichiki
Tatsuo," tulis Kenichi.
Dalam kehidupan keras di kampung ini, Ichiki memupuk pengetahuan bahasa
Indonesia sampai dia menyusun kamus Indonesia-Jepang. Ichiki tetap
mengikuti perkembangan politik di Jepang. Untuk itu, dia sering pergi ke
Klub Jepang di Bandung. Dia juga melahap koran dan majalah Jepang. Terkadang dia menerjemahkan artikel bertopik semangat Jepang Bushido lalu menjualnya koran-koran lokal.
Machida Taisaku, pemimpin senior Klub Jepang di Bandung, merekomendasikan Ichiki ke koran Nichiran Shogyo Shinbun, yang dijalankan Kubo Tatsuji, advokat pendukung Asianisme. Pada Juli 1937, koran ini merger dengan Jawa Nippo dan berubah nama menjadi Toindo Nippo (Harian
Hindia Timur) tapi tetap anti-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda, yang
menganggap Jepang sebagai ancaman, meningkatkan pengawasan terhadap
kegiatan Ichiki dan kawan-kawannya.
Pada 1938, untuk mendiskusikan proyek Toindo Nippo lebih
kongkret, Ichiki kembali ke Tokyo. Tapi sebelum berangkat ke Indonesia,
dia menerima telegram dari Belanda di Batavia yang melarangnya masuk
kembali ke Jawa karena kegiatan anti-Belandanya. Ichiki pun bekerja
sebagai peneliti paruh waktu di Biro Asia Pasifik Kementerian Luar
Negeri dan di Staf Umum Angkatan Darat.
Pada 1940-an, Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda secara bertahap
memperkuat embargo ekonominya kepada Jepang. “Hal ini bahkan
mengakibatkan semakin pentingnya arti Indonesia bagi Jepang. Pada saat
itu, pemimpin-pemimpin Jepang mulai membicarakan secara terang-terangan
‘pembebasan’ Indonesia,” tulisnya Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Pada masa ini, Ichiki berteman dekat dengan Joseph Hassan, pejuang
kemerdekaan Indonesia yang secara diam-diam dikirim ke Jepang oleh teman
Jepangnya, seperti Machida Taisaku and Sato Nobuhide. "Ichiki dan
Hassan akan menghabiskan berjam-jam dengan antusias berbicara tentang
hari esok rakyat Indonesia setelah mereka dibebaskan," tulis Kenichi.
Setelah menggulingkan Belanda pada Maret 1942, Jepang disambut dengan
suka cita sebagai Saudara Tua. Namun, suasana itu tak berlangsung lama.
Jepang segera melarang berbagai aktivitas politik. Ichiki pun kecewa.
Pada sesi Imperial Diet (Majelis Perwakilan Tertinggi Jepang) awal 1943,
Perdana Menteri Hideki Tojo menyebutkan akan memberikan kemerdekaan
bagi Filipina dan Burma di akhir tahun 1943, tapi Indonesia tidak
disebut. Sekali lagi, Ichiki frustasi dan lambat-laun membenci negerinya
sendiri.
Pada Oktober 1943, Jepang membentuk Pembela Tanah Air (Peta) –kelak
menjadi inti dari angkatan bersenjata Indonesia. Ichiki bekerja sebagai
petugas paruh waktu di Divisi Pendidikan Peta di Bogor. Dia membangun
sebuah rumah terpencil di perkebunan karet dan menyebut dirinya –karena
kulitnya agak gelap– "gagak dari Bogor." Pekerjaannya menerjemahkan
manual tentara Jepang seperti Rikugun Hohei Soten(Manual Infantri) dan menjadi editor majalah Heiho, Pradjoerit. Melalui karyanya, dia merasa masih bisa melayani masyarakat Indonesia. Ichiki juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Asia Raya.
Pada 15 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang sampai pada Ichiki.
Jepang, yang melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso, pengganti Tojo,
berjanji memberikan "kemerdekaan Indonesia di kemudian hari" pada 7
September 1944, mengingkari dan mematuhi perintah Sekutu, serta
menyatakan tak ada hubungannya lagi dengan masalah kemerdekaan
Indonesia. Ichiki merasa Jepang telah mengkhianati rakyat Indonesia dua
kali: pada awal dan akhir pendudukan.
Di hari Jepang menyerah, Ichiki menyatakan berpisah dengan Jepang. Dia
menentang tentara Sekutu dan pendaratan pasukan Belanda, serta bertekad
untuk berbagi dengan rakyat Indonesia akan nasib ibu pertiwi barunya,
Republik Indonesia, bukan sebagai seorang Jepang Tatsuo Ichiki, tapi
sebagai pemuda Abdul Rachman. Nama Abdul Rachman diberikan oleh H. Agus
Salim ketika menjadi penasihat Divisi Pendidikan Peta, sebagai bentuk
penghargaan kepadanya yang memihak Republik.
Pada masa perang kemerdekaan, Abdul Rachman memimpin Pasukan Gerilya
Istimewa di Semeru, Jawa Timur, yang disegani Belanda. Pasukan yang
dibentuk pada 1948 ini merupakan satuan khusus di bawah militer
Indonesia yang beranggotakan sekira 28 orang tentara Jepang yang
bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka disebut zanryu nihon hei atau prajurit yang tinggal di belakang.
Pada 9 Januari 1949, desa terpencil Dampit dekat Malang, Jawa Timur,
yang merupakan salah satu medan pertempuran paling sengit, menjadi akhir
riwayat sang samurai. Abdul Rachman berlari ke depan melawan arus
peluru Belanda untuk mendorong pasukan Indonesia, yang mulai ragu
melihat kekuatan Belanda, agar menyerang. Alhasil, beberapa peluru
Belanda menembus dahinya.
No comments:
Post a Comment