Wednesday 16 October 2013

detik .com ,penulisnya membuat judul provokatif , bukti wartawan tidak profesional

ini adalah sebuah tulisan dari detik. com. yang hanya berupaya untuk menciptakan konflik baru. tentang keberhasilan timnas. u19, sepertinya kita di suguhkan oleh sebuah konfilik yang di ciptakan oleh media. masa.


Berulang kali saya mencoba untuk menahan diri dan berpaling agar tidak ikut menulis tentang tim nasional Indonesia dengan alasan kompetensi. Tapi saya akhirnya tak tahan juga.

Sudah 16 tahun saya meninggalkan Indonesia. Jarak dan waktu mulai perlahan melunturkan ingatan tentang persepakbolaan di tanah air. Juga, sekali-kalinya menonton timnas U-19 adalah saat bermain lawan Korea Selatan. Itu pun lewat streaming internet yang tidak selalu mulus gambarnya.

Benar bahwa saya masih sering bercakap-cakap dan berkirim kabar tentang persepakbolaan di Indonesia dengan beberapa rekan lewat email, skype maupun sarana media sosial yang tersedia. Atau, kalau pas kebetulan pulang ke Indonesia, bertemulah kami walau sempit waktunya. Tetapi saya merasa itu masih jauh dari cukup untuk kemudian ikut berkomentar.

Kalau kemudian akhirnya ikut berkomentar, saya akui euforia ini terlalu berat untuk dibendung. Yang sekelumit dari permainan timnas U-19 sungguh menyenangkan, menyadarkan kita semua bahwa Indonesia juga bisa bermain sepakbola dengan menarik dan "benar". Setelah bertahun-tahun cerita yang saya dengar adalah keterpurukan demi keterpurukan, kisah mengenaskan demi mengenaskan, dan keamburadulan sepakbola Indonesia yang seperti tanpa jalan keluar, akhirnya ada sedikit cercah kegembiraan.

Pujian sudah selayaknya diberikan kepada para pemain dan tentu saja ke staf pelatih dan terutama sekali sang pelatih Indra Sjafri. Tetapi saya harap anda bersabar dan membaca artikel ini sampai selesai, karena akan saya katakan bahwa apa yang dilakukan oleh Indra Sjafri ini biasa-biasa saja.

Saya berulang kali membaca pujian bagaimana ia pergi sendiri ke pelosok-pelosok Indonesia untuk mencari bakat. Membentuk staf pelatihan sendiri, dari kitman hingga penganalisa statistik permainan. Menanamkan sebuah gaya permainan tertentu sekaligus rasa percaya diri bahwa para pemain yang ia kumpulkan bisa menjalankan gaya itu.

Anda tahu, memang begitulah seharusnya pelatih sepakbola itu (saya lebih senang menyebutnya sebagai manajer atau pelatih kepala karena peran yang mereka lakukan). Apa yang dilakukan Indra sudah jamak dilakukan para pelatih/manajer sepakbola di Eropa atau negara-negara besar sepakbola dunia. Atau katakan, Indra hanyalah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh para pelatih sepakbola tim nasional untuk semua tingkatan dan juga tingkat klub. Indra Sjafri hanyalah orang yang sadar profesi. Itulah sebabnya saya katakan apa yang ia lakukan biasa-biasa saja.

Yang saya takjub, terharu dan menganggapnya luar biasa adalah ia melakukannya di Indonesia. Negeri dengan federasi sepakbola yang carut marutnya tidak kepalang tanggung.

Perbedaan mendasar antara apa yang dilakukan manajer-manajer Eropa dan Indra Sjafri adalah manajer-manajer Eropa mempunyai sistem pendukung (support system) yang rapi dan mutakhir, sementara Indra Sjafri seperti pengembara tunggal di padang pasir, tanpa kompas dan tanpa penanda jalan. Ia harus meretas jalan sendiri.

Manajer-manajer Eropa didukung oleh jalinan organisasi yang rapi hingga ke tingkat paling bawah, lengkap dengan pemandu bakat, catatan penampilan dan kelebihan pemain berbakat. Indra Sjafri sepertinya mengandalkan informasi getok tular. Federasi sepakbola di Eropa bisa dengan mudah memantau pemain-pemain berbakat karena mengelola --atau setidaknya bekerja sama-- klub-klub dengan benar, sehingga rekomendasi pemain berbakat bisa diterima oleh manajer. Saya yakin Indra Sjafri akan hati-hati menerima rekomendasi pemain dari PSSI

No comments:

Post a Comment