“Terinspirasi dari kisah para Pengajar Muda Wanita di Indonesia Mengajar yang bertugas di daerah perbatasan Indonesia.”
Nasib warga Indonesia
di perbatasan seolah mengalami keterbelahan identitas, terjebak di antara dua
pilihan dan kecintaan terhadap negara. Di pedalaman Kalimantan yang berbatasan
dengan Malaysia, pedalaman Papua dan NTT, beberapa warga negeri ini hidup dalam
ketertinggalan, baik dalam akses informasi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur.
Ini fakta di antara gemerlapnya nuansa pendidikan di kota-kota besar dengan
sistem kompetitif dan infrastruktur standar internasional. Tak heran bila
perbatasan Indonesia merupakan daerah rawan, karena rasa kecintaan terhadap
negara sangat tipis. Terlebih, ketertinggalan di bidang pendidikan menjadikan
warga Indonesia di perbatasan merasakan keterbelakangan sebagai warga negara.
Pendidikan adalah
kebutuhan primer di era modern ini. Setiap orang berhak akan pendidikan, hal
ini sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pendidikan adalah kebutuhan,
bahkan sudah dianggap kebutuhan primer. Pendidikan menjadi hak semua orang.
Tidak peduli apakah ia bertempat tinggal di kota besar atau di daerah pelosok
negeri. Semua kalangan membutuhkannya, termasuk mereka yang tinggal di daerah
3T, Terluar, Terdepan dan Tertinggal. Mereka butuh pendidik untuk memenuhi
kebutuhannya akan pendidikan. Bukan hal sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka
ini. Sudah banyak orang di Indonesia yang memenuhi kebutuhan mereka atau bahkan
hanya sekedar memikirkan dan mendermakan sedikit hartanya untuk pendidikan di
sana.
Kondisi pendidikan yang
sangat memprihatinkan di perbatasan Indonesia sepertinya telah menjadi rahasia
umum. Jauhnya jarak dari ibukota negara, seakan selalu menjadi alasan tidak
tersentuhnya masyarakat di perbatasan akan fasilitas yang layak, baik di bidang
pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Ironis, padahal mereka adalah penghuni
wilayah terluar yang selayaknya menjadi etalase Indonesia.
Kondisi pendidikan masyarakat
perbatasan masih jauh dari kata layak. Hal ini ditambah lagi kekhawatiran akan
rasa nasionalisme yang dimiiki siswa siswa Indonesia. Banyak diantara mereka
yang tidak tahu dimana letak Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta. Ya, Jakarta
yang merupakan pusat pemerintahan Indonesia, banyak siswa yang tidak tahu
persis kota Jakarta. Bahkan lebih parah lagi, anak-anak SD Indonesia ini dalam
setiap upacara lebih dulu menyanyikan lagu kebangsaan Malaysia, kemudian Negara
Bagian Sabah, baru giliran menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Miris. Selain itu, banyak siswa yang tidak lancer berbahasa Indonesia,
namun mereka sangat fasih menggunakan Bahasa Melayu. Ironis memang.
Ironi pendidikan pada daerah perbatasan benar-benar menjadi
problematika pelik bagi bangsa ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah
agar kualitas pendidikan di perbatasan manjadi lebih baik. Namun hingga kini,
upaya-upaya yang dilakukan selalu menemui jalan buntu. Dengan berbagai dalih,
pemerintah kerap kali membela diri dengan bersembunyi pada berbagai alasan
seperti anggaran yang terbatas, hambatan geografis, infrastruktur belum
memadai, dan lain sebagainya. Padahal kita semua tahu bahwa anggaran pendidikan
yang digelontorkan pemerintah adalah yang paling besar proporsinya dibanding
anggaran untuk hal lainnya yaitu sebesar 20,2% dari total APBN di tahun 2012.
Lalu kemanakah larinya alokasi anggaran yang sebesar itu? Secara logis, dengan
anggaran yang sebesar itu sudah cukup untuk setidaknya memperindah wajah
pendidikan di perbatasan. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, hal ini dapat
kita lihat dari kehidupan warga perbatasan yang masih mengalamai
keterbelakangan sosial.
Hal di atas baru dikemukakan dari segi sarana, bagaimana
dengan guru, seorang pendidik, pahlawan tanpa tanda jasa. Hidup memang pilihan
dan pilihan tersebut kembali pada pribadinya masing-masing. Ada guru yang
memutuskan untuk tetap menjadi pengajar di kota dengan berbagai alasan, dari
segi upah yang diterima, kondisi lingkungan dan merawat keluarga.
Namun, ada pula mereka yang terketuk pintu hatinya, untuk
menjadi seorang guru di perbatasan. Mendermakan hidup untuk menunaikan salah
satu janji kemerdekaan bangsa ini, mencerdaskan anak bangsa, mencerdaskan
anak-anak di perbatasan yang belum terjamah dengan sarana prasarana pendidikan
yang layak seperti di kota-kota besar. Namun, bukan berarti mereka yang menjadi
guru di kota besar tidak terketuk pintu hatinya, tapi sekali lagi ini adalah
sebuah pilihan hidup.
Ibarat bendera, pendidikan di daerah perbatasan belum
berkibar dengan tegak. Enam puluh tujuh tahun kemerdekaan kita raih, namun
kondisi pendidikan di perbatasan masih saja memprihatinkan. Berbagai upaya yang
seyogyanya dapat dilakukan oleh pemerintah dan juga masyarakat dalam mengubah
paradigma pembangunan wilayah perbatasan, meningkatkan infrastruktur pendidikan
dan pendukungnya, mengkaji ulang kualitas kurikulum, meningkatkan kualitas
guru, dan mempermudah akses keilmuan peserta didik.
Disaat wanita muda lain, sibuk bersenang-senang, sibuk
berdandan, shopping, dan sebagainya, para pengajar muda wanita ini justru
mengemban kewajiban untuk mendidik adik-adik yang belum mendapatkan pendidikan
berkualitas dari pemerintah. Mengajar dengan hati nurani dan keinginan untuk
mencerdaskan anak bangsa. Berusaha maksimal dengan segala keterbatasan yang
ada. Berusaha memaksimalkan kualitas diri agar dapat mendidik anak-anak di sana
dengan cara yang terbaik. Menanamkan rasa nasionalisme dalam diri mereka dengan
dilandasi keimanan dan ketakwaan.
Mereka menyebar ke berbagai pelosok negeri dengan satu niat:
menjadi guru. Ternyata mereka tak hanya mengajarkan tentang membaca, menulis,
dan berhitung, tapi juga beragam hal. Sebaliknya, wanita-wanita muda itu juga
belajar banyak hal dari para murid dan masyarakat sekitar daerah perbatasan.
Bukan hal mudah bagi
Pengajar Muda Wanita dalam menjalani misi mulia ini, ketika banyak orang
membelanjakan uangnya untuk liburan dan membeli peralatan make up baru, mereka justru rela menabung dan merogoh jutaan rupiah
untuk memberikan pelita ilmu bagi anak-anak perbatasan. Ditambah perjuangan
baik sebelum maupun saat berada di sana, sangat menempa fisik dan mental.
Akses transportasi yang
sulit, kondisi jalan yang rusak, gempuran produk dari negeri Malaysia, dualisme
kewarganegaraan, harga-harga barang kebutuhan yang mahal, pelayanan kesehatan
yang kurang memadai, hingga akses pendidikan yang sangat terbatas menjadi
potret kehidupan perjuangan berat para Pengajar Muda di daerah perbatasan.
No comments:
Post a Comment