Saturday, 5 October 2013

dedikasi Wanita Untuk Pendidikan Di Tepi Batas Negeri

berita seperti inilah yang harus di expose oleh media, karena sekarang ini kita sudah sering melihat jeleknya negara ini, indonesia bukan hanya milik para koruptor . masi ada di ujung negeri ini yang mencintai indoensia dengan apa adanya, dan dia banyak berbuat bukan sekedar berwacana


“Terinspirasi dari kisah para Pengajar Muda Wanita di Indonesia Mengajar yang bertugas di daerah perbatasan Indonesia.”

Nasib warga Indonesia di perbatasan seolah mengalami keterbelahan identitas, terjebak di antara dua pilihan dan kecintaan terhadap negara. Di pedalaman Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, pedalaman Papua dan NTT, beberapa warga negeri ini hidup dalam ketertinggalan, baik dalam akses informasi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Ini fakta di antara gemerlapnya nuansa pendidikan di kota-kota besar dengan sistem kompetitif dan infrastruktur standar internasional. Tak heran bila perbatasan Indonesia merupakan daerah rawan, karena rasa kecintaan terhadap negara sangat tipis. Terlebih, ketertinggalan di bidang pendidikan menjadikan warga Indonesia di perbatasan merasakan keterbelakangan sebagai warga negara.
Pendidikan adalah kebutuhan primer di era modern ini. Setiap orang berhak akan pendidikan, hal ini sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pendidikan adalah kebutuhan, bahkan sudah dianggap kebutuhan primer. Pendidikan menjadi hak semua orang. Tidak peduli apakah ia bertempat tinggal di kota besar atau di daerah pelosok negeri. Semua kalangan membutuhkannya, termasuk mereka yang tinggal di daerah 3T, Terluar, Terdepan dan Tertinggal. Mereka butuh pendidik untuk memenuhi kebutuhannya akan pendidikan. Bukan hal sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka ini. Sudah banyak orang di Indonesia yang memenuhi kebutuhan mereka atau bahkan hanya sekedar memikirkan dan mendermakan sedikit hartanya untuk pendidikan di sana.
Kondisi pendidikan yang sangat memprihatinkan di perbatasan Indonesia sepertinya telah menjadi rahasia umum. Jauhnya jarak dari ibukota negara, seakan selalu menjadi alasan tidak tersentuhnya masyarakat di perbatasan akan fasilitas yang layak, baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Ironis, padahal mereka adalah penghuni wilayah terluar yang selayaknya menjadi etalase Indonesia.
Kondisi pendidikan masyarakat perbatasan masih jauh dari kata layak. Hal ini ditambah lagi kekhawatiran akan rasa nasionalisme yang dimiiki siswa siswa Indonesia. Banyak diantara mereka yang tidak tahu dimana letak Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta. Ya, Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan Indonesia, banyak siswa yang tidak tahu persis kota Jakarta. Bahkan lebih parah lagi, anak-anak SD Indonesia ini dalam setiap upacara lebih dulu menyanyikan lagu kebangsaan Malaysia, kemudian Negara Bagian Sabah, baru giliran menyanyikan lagu Indonesia Raya. Miris. Selain itu, banyak siswa yang tidak lancer berbahasa Indonesia, namun mereka sangat fasih menggunakan Bahasa Melayu. Ironis memang.
Ironi pendidikan pada daerah perbatasan benar-benar menjadi problematika pelik bagi bangsa ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah agar kualitas pendidikan di perbatasan manjadi lebih baik. Namun hingga kini, upaya-upaya yang dilakukan selalu menemui jalan buntu. Dengan berbagai dalih, pemerintah kerap kali membela diri dengan bersembunyi pada berbagai alasan seperti anggaran yang terbatas, hambatan geografis, infrastruktur belum memadai, dan lain sebagainya. Padahal kita semua tahu bahwa anggaran pendidikan yang digelontorkan pemerintah adalah yang paling besar proporsinya dibanding anggaran untuk hal lainnya yaitu sebesar 20,2% dari total APBN di tahun 2012. Lalu kemanakah larinya alokasi anggaran yang sebesar itu? Secara logis, dengan anggaran yang sebesar itu sudah cukup untuk setidaknya memperindah wajah pendidikan di perbatasan. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, hal ini dapat kita lihat dari kehidupan warga perbatasan yang masih mengalamai keterbelakangan sosial.
Hal di atas baru dikemukakan dari segi sarana, bagaimana dengan guru, seorang pendidik, pahlawan tanpa tanda jasa. Hidup memang pilihan dan pilihan tersebut kembali pada pribadinya masing-masing. Ada guru yang memutuskan untuk tetap menjadi pengajar di kota dengan berbagai alasan, dari segi upah yang diterima, kondisi lingkungan dan merawat keluarga.
Namun, ada pula mereka yang terketuk pintu hatinya, untuk menjadi seorang guru di perbatasan. Mendermakan hidup untuk menunaikan salah satu janji kemerdekaan bangsa ini, mencerdaskan anak bangsa, mencerdaskan anak-anak di perbatasan yang belum terjamah dengan sarana prasarana pendidikan yang layak seperti di kota-kota besar. Namun, bukan berarti mereka yang menjadi guru di kota besar tidak terketuk pintu hatinya, tapi sekali lagi ini adalah sebuah pilihan hidup.
Ibarat bendera, pendidikan di daerah perbatasan belum berkibar dengan tegak. Enam puluh tujuh tahun kemerdekaan kita raih, namun kondisi pendidikan di perbatasan masih saja memprihatinkan. Berbagai upaya yang seyogyanya dapat dilakukan oleh pemerintah dan juga masyarakat dalam mengubah paradigma pembangunan wilayah perbatasan, meningkatkan infrastruktur pendidikan dan pendukungnya, mengkaji ulang kualitas kurikulum, meningkatkan kualitas guru, dan mempermudah akses keilmuan peserta didik.
Disaat wanita muda lain, sibuk bersenang-senang, sibuk berdandan, shopping, dan sebagainya, para pengajar muda wanita ini justru mengemban kewajiban untuk mendidik adik-adik yang belum mendapatkan pendidikan berkualitas dari pemerintah. Mengajar dengan hati nurani dan keinginan untuk mencerdaskan anak bangsa. Berusaha maksimal dengan segala keterbatasan yang ada. Berusaha memaksimalkan kualitas diri agar dapat mendidik anak-anak di sana dengan cara yang terbaik. Menanamkan rasa nasionalisme dalam diri mereka dengan dilandasi keimanan dan ketakwaan.
Mereka menyebar ke berbagai pelosok negeri dengan satu niat: menjadi guru. Ternyata mereka tak hanya mengajarkan tentang membaca, menulis, dan berhitung, tapi juga beragam hal. Sebaliknya, wanita-wanita muda itu juga belajar banyak hal dari para murid dan masyarakat sekitar daerah perbatasan.
Bukan hal mudah bagi Pengajar Muda Wanita dalam menjalani misi mulia ini, ketika banyak orang membelanjakan uangnya untuk liburan dan membeli peralatan make up baru, mereka justru rela menabung dan merogoh jutaan rupiah untuk memberikan pelita ilmu bagi anak-anak perbatasan. Ditambah perjuangan baik sebelum maupun saat berada di sana, sangat menempa fisik dan mental.
Akses transportasi yang sulit, kondisi jalan yang rusak, gempuran produk dari negeri Malaysia, dualisme kewarganegaraan, harga-harga barang kebutuhan yang mahal, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, hingga akses pendidikan yang sangat terbatas menjadi potret kehidupan perjuangan berat para Pengajar Muda di daerah perbatasan.
Mereka sadar untuk mengambil peran dalam memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Merambah belantara pelosok desa, mengajar anak-anak desa dengan sentuhan cinta. Dedikasi yang berasal dari hati tulus, tak membutuhkan gemerincing perayaan seremonial. Mereka, anak-anak muda, pahlawan masa kini. Kontribusi yang mereka lakukan mungkin memang lebih kecil dibandingkan seluruh permasalahan yang dihadapi masyarakat di wilayah perbatasan. Namun, semoga dedikasi dan langkah kecil ini mampu menginspirasi lebih banyak pihak untuk juga turut bergerak membantu pendidikan di daerah perbatasan negeri ini.

No comments:

Post a Comment