Upaya pemenuhan pangan harus terus dilakukan, mengingat pangan
merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak azasi setiap manusia.
Inovasi pun terus diupayakan dengan memanfaatkan teknologi pangan.
DALAM teknologi pangan, dipelajari sifat fisis, mikrobiologis, dan
kimia dari bahan pangan dan proses yang mengolah bahan pangan tersebut.
Spesialisasinya beragam, di antaranya pemrosesan, pengawetan, pengemasan
dan salah satu produknya adalah beras analog. Disebut beras analog,
karena bentuknya mirip beras, tapi tidak terproses secara alami
melainkan hasil rekayasa manusia.
Terbuat dari berbagai macam tepung, seperti sorgum, jagung, atau
sagu. Bentuknya oval menyerupai beras, hanya warnanya agak kusam, tidak
seputih beras autentik. Program diversifikasi pangan ini tengah digenjot
Kementerian Pertanian (Kementan) untuk mengurangi ketergantungan
konsumsi beras padi dan tepung terigu.
Beras analog dipilih sebagai pengganti konsumsi dua komoditas
tersebut bagi masyarakat Indonesia. Sumber karbohidrat maupun gizi yang
terkandung di dalam beras analog sama dengan beras padi sehingga layak
dikonsumsi. Harga beras analog pun cukup bersahabat. Sebelum kenaikan
BBM dipatok sekitar Rp 6.000-7.000 ribu per kilogram (kg).
Sehingga cocok dikonsumsi oleh seluruh kalangan masyarakat. Di
Indonesia, pengolahan dan pengembangan beras analog disesuaikan dengan
karakteristik di masing-masing daerah. Maluku Tenggara dan Tengah
misalnya, masyarakat di daerah tersebut menggunakan bahan baku embal
atau singkong untuk memproduksi beras analog.
Di Jember, ada beras cerdas berbahan baku singkong, dan di Kulon
Progo berinovasi dengan tiwul instan. Sedangkan Riau telah mengolah
makanan pokok berbahan dasar sagu untuk papeda instan. Kemunculan beras
analog dipelopori tiga mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Fateta IPB),
yakni Annisa Karunia, Suba Santika Widara, dan Yuliyanti.
Ketiganya memperoleh apresiasi dari Menteri BUMN Dahlan Iskan, karena
pandang sejalan dengan misi Kementerian BUMN. Terbesar Dunia Penduduk
Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia. Satu orang
Indonesia rata-rata mengonsumsi 139 kg per tahun. Karena tidak ada
divertifikasi makanan pokok, maka impor beras terpaksa dilakukan.
Untuk menghindari impor berkelanjutan, beras analog dijadikan sebagai
bahan makanan alternatif pengganti beras. Menurut peneliti dari
F-Technopark IPB Dr. Slamet Budijanto, beras analog diarahkan untuk
kalangan masyarakat menengah dan sudah mulai dipasarkan. Beras analog
dibuat menggunakan teknologi ekstrusi , yang dirancang khusus dengan
mengatur kondisi proses dan formulanya.
Menurut Slamet, teknologi ekstrusi secara umum memungkinkan untuk
melakukan serangkaian proses pengolahan seperti mencampur, menggiling,
memasak, mendinginkan, mengeringkan dan mencetak dalam satu rangkaian
proses. Produk pangan tersebut dirancang khusus untuk menghasilkan sifat
fungsional dengan menggunakan bahan tepung lokal, seperti sorgum, sagu,
dan umbi- umbian. Bahannya bisa ditambahkan dengan ‘ingridient’ pangan
seperti serat, antioksidan dan bahan lainnya sesuai keinginan.
Di luar negeri seperti China dan Filipina, beras imitasi diproduksi
dari beras menir menjadi beras utuh untuk kebutuhan fortifikasi vitamin
atau mineral tertentu, Di Indonesia, pada 1970-an sudah ada upaya
membuat beras tiruan yang disebut beras Tekad, namun tidak mendapat
sambutan dari masyarakat, karena beras imitasi yang dibuat dari ketela,
kacang, dan jagung ini ditujukan untuk masyarakat kelas ekonomi menengah
ke bawah. (Kawe Shamudra, dari berbagai sumber-12)
No comments:
Post a Comment