Wednesday, 23 October 2013

Beras Analog Pengganti Beras Asli

Upaya pemenuhan pangan harus terus dilakukan, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak azasi setiap manusia. Inovasi pun terus diupayakan dengan memanfaatkan teknologi pangan.

DALAM teknologi pangan, dipelajari sifat fisis, mikrobiologis, dan kimia dari bahan pangan dan proses yang mengolah bahan pangan tersebut. Spesialisasinya beragam, di antaranya pemrosesan, pengawetan, pengemasan dan salah satu produknya adalah beras analog. Disebut beras analog, karena bentuknya mirip beras, tapi tidak terproses secara alami melainkan hasil rekayasa manusia.

Terbuat dari berbagai macam tepung, seperti sorgum, jagung, atau sagu. Bentuknya oval menyerupai beras, hanya warnanya agak kusam, tidak seputih beras autentik. Program diversifikasi pangan ini tengah digenjot Kementerian Pertanian (Kementan) untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras padi dan tepung terigu.

Beras analog dipilih sebagai pengganti konsumsi dua komoditas tersebut bagi masyarakat Indonesia. Sumber karbohidrat maupun gizi yang terkandung di dalam beras analog sama dengan beras padi sehingga layak dikonsumsi. Harga beras analog pun cukup bersahabat. Sebelum kenaikan BBM dipatok sekitar Rp 6.000-7.000 ribu per kilogram (kg).

Sehingga cocok dikonsumsi oleh seluruh kalangan masyarakat. Di Indonesia, pengolahan dan pengembangan beras analog disesuaikan dengan karakteristik di masing-masing daerah. Maluku Tenggara dan Tengah misalnya, masyarakat di daerah tersebut menggunakan bahan baku embal atau singkong untuk memproduksi beras analog.

Di Jember, ada beras cerdas berbahan baku singkong, dan di Kulon Progo berinovasi dengan tiwul instan. Sedangkan Riau telah mengolah makanan pokok berbahan dasar sagu untuk papeda instan. Kemunculan beras analog dipelopori tiga mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Fateta IPB), yakni Annisa Karunia, Suba Santika Widara, dan Yuliyanti.
Ketiganya memperoleh apresiasi dari Menteri BUMN Dahlan Iskan, karena pandang sejalan dengan misi Kementerian BUMN. Terbesar Dunia Penduduk Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia. Satu orang Indonesia rata-rata mengonsumsi 139 kg per tahun. Karena tidak ada divertifikasi makanan pokok, maka impor beras terpaksa dilakukan.

Untuk menghindari impor berkelanjutan, beras analog dijadikan sebagai bahan makanan alternatif pengganti beras. Menurut peneliti dari F-Technopark IPB Dr. Slamet Budijanto, beras analog diarahkan untuk kalangan masyarakat menengah dan sudah mulai dipasarkan. Beras analog dibuat menggunakan teknologi ekstrusi , yang dirancang khusus dengan mengatur kondisi proses dan formulanya.

Menurut Slamet, teknologi ekstrusi secara umum memungkinkan untuk melakukan serangkaian proses pengolahan seperti mencampur, menggiling, memasak, mendinginkan, mengeringkan dan mencetak dalam satu rangkaian proses. Produk pangan tersebut dirancang khusus untuk menghasilkan sifat fungsional dengan menggunakan bahan tepung lokal, seperti sorgum, sagu, dan umbi- umbian. Bahannya bisa ditambahkan dengan ‘ingridient’ pangan seperti serat, antioksidan dan bahan lainnya sesuai keinginan.

Di luar negeri seperti China dan Filipina, beras imitasi diproduksi dari beras menir menjadi beras utuh untuk kebutuhan fortifikasi vitamin atau mineral tertentu, Di Indonesia, pada 1970-an sudah ada upaya membuat beras tiruan yang disebut beras Tekad, namun tidak mendapat sambutan dari masyarakat, karena beras imitasi yang dibuat dari ketela, kacang, dan jagung ini ditujukan untuk masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. (Kawe Shamudra, dari berbagai sumber-12)

No comments:

Post a Comment