Pengamat hukum dan politik Universitas Mataram (Unram), H.
Satriawan Sahak, SH M.Hum, mengemukakan peluang kembalinya Timor-Timur
(Timor Leste,red) ke pangkuan “Ibu Pertiwi” kian terbuka.
“Melihat situasi dan kondisi sosial politik yang terjadi di daerah
bekas jajahan Portugal itu pasca kemerdekaan setelah jajak pendapat
1999, berpeluang besar kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” katanya kepada
wartawan di Mataram, Minggu.
Menurut dia, kondisi sosial politik yang kian memanas, khususnya
setelah penembakan warga sipil oleh pasukan perdamaian asal Australia,
merupakan wujud tidak mampunya negara-negara asing mengamankan daerah
itu dari pergolakan “perang saudara”.
Perang saudara yang berkepanjangan tidak akan pernah berakhir bila
penanganan menggunakan pola-pola Barat, karena karakteristik masyarakat
setempat sangat berbeda dengan budaya-budaya asing.
Kolonial Portugis pada 1974, pada saat terjadi “Revolusi Bunga”
hengkang meninggalkan wilayahya dan membiarkan masyarakat Timor-Timur
terlibat perang saudara.
Ketidakmampuan mengamankan daerah jajahannya ditandai dengan
memberikan “kekuasaan” kepada salah satu partai, yakni Fretelin,
sehingga terjadi pergolakan perang saudara yang melibatkan beberapa
partai lain seperti UDT, Apodete, Trabalista, Kota.
Perang saudara yang berkecamuk didaerah bekas jajahan Portugis
tersebut memaksa sebagian besar masyarakat Timor Leste, khususnya
dibagian Barat Timor Timur seperti Dili, Liquisa, Ermera, Maliana
(Bobonaro), Kovalima, Oecusi mengungsi ke wilayah
Timor Barat (Atambua, red).
Pengungsian seperti itu bukan hanya terjadi saat berkecamuknya perang
saudara tahun 1974/1976 dan pasca jajak pendapat tahun 1999, tetapi
beberapa kali sebelumnya saat terjadi pemberontakan masyarakat Timor
Timur terhadap negara kolonial Portugis.
Berdasarkan catatan sejarah, pergolakan yang terjadi dalam masyarakat
Timor Timur (Timor Leste) tidak akan pernah reda selama ditangani orang
atau pihak asing.
“Seorang tokoh pejuang dan tokoh agama Timor-Iimur almarhum Pendeta
Vicente pernah menyatakan bahwa berintegrasinya Timor-Timur ke NKRI
merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa,” katanya.
Menurut Vicente, mantan Ketua Sinode Gereja Protestan setempat,
berintegrasinya Timor Timor ke NKRI bagaikan seorang anak yang hilang
dan kembali kepangkuan ibunya.
Dalam jajak pendapat tahun 1999 hasilnya dimenangi masyarakat
“Prokem” (Pro Kemerdekaan) dengan perbandingan suara 71 dengan 29,
tetapi berdasarkan sejarah suku etnis Timor Timur dengan Timor Barat
tidak pernah bisa terpisahkan.
Dari berbagai sisi seperti bahasa dan adat istiadat, masyarakat Timor
Timur yang mendiami wilayah Timur dan masyarakat Timor Barat yang
mendiami wilayah Barat, memiliki kesamaan yang tidak terpisahkan.
“Kalaupun sekarang kedua bersaudara itu harus terpisah karena
kepentingan politik, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, dan masyarakat Timor Timur akan aman bila kembali bersatu
dengan saudara-saudaranya di Timor Barat,” katanya.
No comments:
Post a Comment