Operasi Seroja merupakan operasi ‘militer’ terlama yang pernah
dilakukan oleh ABRI. Sebelumnya, operasi militer terlama yang dilakukan
ABRI adalah operasi penumpasan DI/TII. Dalam beberapa literatur
disebutkan bahwa operasi Seroja berlangsung dari tahun 1975 sampai
dengan tahun 1978. Menurut penulis (joel Manz), operasi Seroja masih
berlaku sampai dengan ‘lepasnya’ Tim-Tim. Hal ini ditandai dengan adanya
organisasi ‘Kolakops’ yang merupakan ciri khas operasi militer serta
pemberian satyalancana Seroja bagi tentara yang bertugas setelah tahun
1978. Hal lain yang mendukung pendapat penulis adalah dikaryakannya
anggota ABRI di pemerintahan, mulai dari tingkat desa sampai provinsi.
Beberapa jabatan bupati yang daerahnya dianggap rawan serta jabatan
wakil gubernur adalah jabatan yang diplot untuk anggota ABRI yang
dikaryakan. Hal ini mengingatkan kita akan taktik gerilya a la Jenderal
Besar Nasution yang diimplementasikan oleh ABRI melalui dwi fungsinya.
Operasi Seroja merupakan lanjutan dari operasi intelijen yang
dilakukan oleh pihak Intelijen Indonesia sebelumnya, yaitu operasi
Komodo yang telah digelar semenjak Januari 1975. Operasi Komodo
bertujuan untuk menjalin kontak politik dengan orang-orang
pro-Indonesia. Perang sipil yang masif di Timor Portugis serta
‘dorongan’ Aussie dan AS, memicu Indonesia untuk mengambil alih
kekuasaan di Timor Portugis.
Sisi ‘Gelap’ Operasi Seroja
Operasi Seroja ini merupakan operasi militer yang gagal, karena sejak
awal tidak direncanakan secara jelas serta banyak kepentingan politik
bermain di dalamnya. Bagi sebagian kalangan ABRI, operasi Seroja
merupakan tempat latihan tempur ‘real time’ dan batu loncatan untuk
karir, meski pun resikonya juga sangat besar. Bagi sebagian kalangan
‘lain’, operasi ini juga menjadi ladang korupsi yang sangat subur karena
perhatian pemerintah pusat terhadap Tim-Tim berupa kucuran dana sangat
besar.
Perencanaan operasi militer ini pada awal dan selama integrasi tidak
ada kejelasan. Oleh karena itu, tidak heran selama kurun waktu 24 tahun
ABRI kehilangan sebanyak 3.315 orang yang gugur di medan penugasan serta
cacat sebanyak 2.338 orang. 60% dari gugur dan cacat adalah anggota
TNI-AD. Selain itu, operasi ini lebih banyak menonjolkan operasi ‘darat’
ketimbang suatu operasi ‘gabungan’ dengan melibatkan unsur ‘laut’ dan
‘udara’. Tidak heran, gerakan pro-kemerdekaan dengan mudah mendapat
suplai senjata dari ‘pihak asing’ melalui laut dan udara. Selain itu,
‘pihak asing’ sering sekali kegiatan intelijen melalui laut dan udara,
terutama menjelang referendum tahun 1999.
Operasi ini tidak didukung oleh upaya diplomasi di panggung
internasional secara serius. Padahal pada awal masuknya Indonesia ke
Tim-Tim, ‘dukungan’ AS dan juga Australia serta beberapa negara ‘barat’
sangat kuat. Jika ditangani serius pada awal masa integrasi, seharusnya
masalah bergabungnya Tim-Tim dengan Indonesia dapat selesai dengan
‘cepat’ dan ‘aman’. Sebagai bukti tidak seriusnya penanganan masalah
Tim-Tim, sampai tahun 1999, PBB menganggap wilyah Tim-Tim sebagai koloni
Portugis.
Aspek lain yang tidak diperhatikan oleh operasi ini adalah aspek
budaya lokal. Operasi ‘teritorial’ seperti AMD hanya menyentuh aspek
ekonomi semata, sementara aspek budaya tidak tersentuh sama sekali.
Pihak Gereja dan tokoh lokal jarang sekali dilibatkan dalam kegiatan
‘teritorial’, karena dicurigai memiliki hubungan erat dengan gerakan
pro-kemerdekaan. Gereja merupakan sokoguru dalam kehidupan masyarakat
Tim-Tim selama berabad-abad. Bila terjalin kerja sama yang erat, sudah
barang tentu menjadi mitra pemerintah yang efektif. Tokoh-tokoh lokal
juga sepertinya diabaikan. Padahal kerja sama dengan tokoh lokal dapat
dimanfaatkan secara efektif, sebelum lembaga-lembaga yang lebih modern
dapat berfungsi dengan baik.
Aspek adminstratif pemerintahan akibat integrasi Tim-Tim ke Indonesia
tidak diselesaikan secara tuntas serta mengabaikan budaya lokal.
berdasarkan UU no 7/1976 tentang pengesahan Tim-Tim ke dalam NKRI
disebutkan bahwa latar belakang budaya yang berlainan memerlukan ‘aturan
khusus’. Hilangnya kekuasaan raja-raja lokal akibat penerapan UU
tentang pemerintahan desa serta penghapusan hak kepemilikan ‘mutlak’
atas tanah, termasuk tanah gereja, dan hanya mempunyai hak guna usaha
atau hak guna bangunan, merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam
menyelesaikan ‘aturan khusus’ sebagaimana tertera pada UU no 7/1976.
Pembentukan milisi yang semula tujuannya adalah untuk mempertahankan
integrasi, namun kemudian melenceng menjadi aksi cowboy dan menjadi
pemicu aksi-aksi kekerasan di Tim-Tim. Pembentukan milisi ini dimulai
pada tahun 1978 dengan dibentuknya Wanra. Wanra ini diharapkan dapat
membantu ABRI dalam upaya membasmi gerakan pro-kemerdekaan.
Kelompok-kelompok wanra ini mendapat pelatihan militer dari Kopassus.
Beberapa kelompok wanra yang dibentuk di awal: Halilintar, Makikit,
Saka, Sera dan Alfa. Pada tahun 1989, dibentuk pula kelompok wanra
bernama Garda Muda Penegak Integrasi atau Gardapaksi. Pembentukan
kelompok ini merupakan ide dari Prabowo Subianto.
Sejak dahulu sampai sekarang, Tim-Tim atau Timor Leste merupakan
ajang ‘politik’. Jika ‘berhasil’ maka karir akan berkembang, namun bila
‘gagal’ maka karir akan ‘jalan di tempat’ atau ‘tersingkir’. Selain itu,
nyawa juga menjadi taruhan dalam penugasan ke Tim-Tim. Bagi perwira
yang bernasib baik, Tim-Tim merupakan ‘tiket’ untuk memuluskan karir.
Jika kurang beruntung namun memiliki ‘kontribusi’ yang bagus, dapat
‘diselamatkan’ dengan berbagai cara.
Kasus insiden Dili 12 November 1991 dapat dijadikan contoh kasus
bagaimana para perwira yang terkait insiden tersebut ‘diselamatkan’.
Inilah nama-nama perwira yang terkait dengan insiden tersebut:
Mayjen Sintong Panjaitan; menjadi Pangdam Udayana pada saat insiden.
Ia ‘diselamatkan’ oleh Habibie pasca peristiwa tersebut. Sempat menjadi
Sesdalopbang pada saat Habibie menjadi Presiden.
Brigjen Rudolf Warouw; menjadi Pangkolakops pada saat insiden
terjadi. Ia ‘diselamatkan’ oleh Jenderal Wismoyo Arismunandar dan
menjadi Sekjen KONI pasca peristiwa tersebut. Berdasarkan penelusuran
penulis, beliau terakhir diketahui menjadi salah satu Direksi Dipasena
Group, perusahaan pengelola tambak udang di Lampung.
Kolonel JP Sepang; menjadi Danrem Tim-Tim pada saat insiden terjadi.
Pasca insiden tersebut, ia ‘diparkir’. Ia muncul kembali, namun menjadi
orang sipil dengan menjadi Kepala DLLAJ DKI Jakarta semasa Gubernur
Sutiyoso.
Ajang ‘politik’ menjadi jatah kelompok pamen ke atas. Bagaimana
dengan kelompok perwira pertama, bintara dan tamtama? Kebanyakan dari
mereka kini bergulat melawan kemiskinan. Janji untuk meningkatkan
kesejahteraan para veteran seroja tidak terdengar lagi. Suara mereka pun
tidak didengar oleh pemerintah dan dianggap angin lalu semata terkait
dengan lepasnya Tim-Tim.
Jika caranya seperti ini, kita bukanlah bangsa besar yang memberikan penghormatan pada pahlawannya.
No comments:
Post a Comment