Konspirasi Tewasnya 8 Anggota TNI di Papua, Babak Awal
Skenario Asing
Kejadian tewasnya 8 anggota TNI meski ini menyakitkan bagi TNI dan seluruh anak
bangsa, namun kita harus berkepala dingin menangani ini. Ini hanya babakan awal
dari yang pernah saya tulis di buku Tangan Tangan Amerika(Operasi Siluman AS di
Pelbagai Belahan Dunia) terbitan 2010, bahwa dalam skema yang dirancang
Pentagon melalui rekomendasi studi Rand Corporation, Indonesia harus
dibagi 7 wilayah, yang mana salah satu prioritas jangka pendek adalah
memerdekakan Papua. Ini adalah bagian dari BALKANISASI NUSANTARA.
Maka, kejadian tewasnya 8 anggota TNI, jangan dibaca semata sebagai
konsekwesnsi Perang antara TNI dan OPM, tapi lebih dari itu, untuk membenturkan
antara TNI dan warga sipil Papua, yang nantinya seakan semua warga sipil Papua
adalah OPM.
Skema dan kebijakan strategis pemerintahan Obama pasca Bush ini harus dicermati
secara seksama. Dengan jargon demokrasi dan penegakan HAM sebagai isu sentral,
maka masalah masa depan Aceh dan Papua bisa menjadi duri dalam daging bagi
hubungan Indonesia-Amerika ke depan.
Apalagi sebuah badan riset dan pengembangan strategis di Amerika bernama Rand
Corporation, yang dikenal sering melayani secara akademis kepentingan
Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) dan atas dukungan dana dari Pentagon,
internasionalisasi Aceh ternyata masih merupakan isu sentral dan agenda mereka
hingga sekarang. Bahkan dalam scenario building yang mereka gambarkan, wilayah
Indonesia harus dipecah menjadi delapan bagian.
RAND Corporation (Research ANd Development )
is a nonprofit global
policy think
tank first formed to offer research and analysis to the United States armed forces by Douglas Aircraft Company. It is currently
financed by the U.S. government and private endowment, corporations including
the healthcare industry, universities and
private individuals. The
organization has long since expanded to working with other governments,
private foundations, international organizations, and commercial organizations
on a host of non-defence issues. RAND aims for interdisciplinary and
quantitative problem solving via translating theoretical concepts from formal
economics and the hard sciences into novel applications in other areas; that
is, via applied science andoperations research. Michael
D. Rich is president and chief executive officer of the RAND
Corporation.
RAND has approximately 1,700 employees and three principal
North American locations:Santa Monica, California (headquarters); Arlington, Virginia; and Pittsburgh,
Pennsylvania. The RAND Gulf States Policy Institute has offices in New Orleans,
Louisiana, andJackson, Mississippi. RAND
Europe is located in Cambridge, United Kingdom, and Brussels,
Belgium. The
RAND-Qatar Policy Institute is
in Doha, Qatar. RAND's newest
office is in Boston, Massachusetts.
RAND is also home to the Frederick S. Pardee RAND
Graduate School, one of the original graduate
programs in public policy and the first[citation needed] to offer a Ph.D.
The program aims to have practical value in that students work alongside RAND
analysts on real-world problems. The campus is at RAND's Santa Monica research
facility. The Pardee RAND School is the world's largest Ph.D.-granting program
in policy analysis.
RAND publishes the RAND Journal of Economics, a peer-reviewed journal
of economics.
To date, 32 recipients of the Nobel Prize,
primarily in the fields of economics and physics, have been involved or
associated with RAND at some point in their career.
Criticism
In 1958 Democratic Senator Stuart
Symington accused the RAND Corporation of defeatism for
studying how the United States might strategically surrender to an enemy power.
This led to the passage of a prohibition on the spending of tax dollars on the
study of defeat or surrender of any kind. However, the senator had apparently
misunderstood, as the report was a survey of past cases in which the United
States had demanded unconditional surrender of its
enemies, asking whether or not this had been a more favorable outcome to
U.S. interests than an earlier, negotiated surrender would have been.
Sekadar informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8
bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika Presiden
Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti rekomendasi Rand Corporation
atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.
Dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation
tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Karena rekomendasi Rand Corporation
dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.
Apa yang diinginkan oleh Pentagon dari skenario Rand Corporation Clinton..? itu
Artinya, skenario ”Balkanisasi Nusantara” menjadi opsi yang logis untuk
diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika di era Obama dan Hillary
Clinton.
Dalam skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah dari
NKRI. Yang sudah terpisah Yaitu Timor Timur yang terjadi pada 1999 masa
pemerinthana Habibie. Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan berpotensi
untuk pecah melalui “sandiwara” MoU Helsinki dan kemungkinan (telah) menangnya
Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009 tahun ini. Kemudian Ambon, Irian Jaya,
Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan sisanya tetap Indonesia.
Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka
besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak dengan menggunakan
aksi militer.
Dalam skema ini, Diplomasi Publik Menlu Clinton akan menjadi elemen yang paling
efektif untuk menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.
Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Aceh atau
Irian Jaya, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi
dan penegakan HAM.
Dalam kaitan ini pula, Uni Eropa memang sejauh ini memang sudah menjadi pemain
sentral di Aceh pasca MoU Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith, Juha
Christensen sementara dari persekutuan Inggris, Australia dan Amerika,
mengandalkan pemain sentralnya pada Dr Damien Kingsbury dan Anthoni Zinni.
Mereka semua ini dirancang sebagai agen-agen lapangan yang tujuannya adalah
memainkan peran sebagai mediator ketika skenario jalan buntu terjadi antara pihak
pemerintah Indonesia dan gerakan separatis. Ketika itulah mereka-mereka ini
menjadi aktor-aktor utama dari skenario internasionalisasi Aceh, Irian Jaya,
dan daerah-daerah lainnya yang berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI.
Motivasi para penentu kebijakan luar negeri Amerika memang bisa dimengerti.
Karena dengan lepasnya daerah-daerah tersebut, Amerika bisa mengakses langsung
kepada para elite daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta
seperti sekarang ini.
Dorongan untuk memperoleh daerah pengaruh nampaknya memang bukan monopoli
kepresidenan Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama meski dengan metode
yang berbeda.
Baik Bush maupun Obama agaknya menyadari bahwa konstalasi negara-negara di
kawasan Amerika Latin yang notabene merupakan daerah halaman belakang mereka,
ternyata semakin sulit untuk dikontrol. Dan bahkan berpotensi menjadi negara
musuh Amerika.
Perkembangan terkini adalah menangnya calon presiden El Salvador yang berhaluan
sosialis Mauricio Funes. Ekuador yang sekarang dipimpin oleh Presiden Rafael
Correa seorang sosialis yang mengagendakan perlunya revolusi dalam ekonomi,
pendidikan dan kesehatan.
Brazil sejak masa kepresidenan Luis Inacio Lula memprioritaskan pengamanan
energi, Evo Morales dari Bolivia yang menekankan programnya pada nasionalisasi
industri gas, pertambangan dan kehutanan. Serta pengembalian tanah rakyat
kepada petani miskin, perlindungan warga Indian, dan sebagainya.
Beberapa presiden Amerika Latin yang berhaluan kiri-tengah adalah Presiden
Chilie Michele Bachelet dan Presiden Peru Alan Garcia. Dan di atas itu semua,
Hugo Chavez dari Venezuela yang belakangan perseteruannya dengam Amerika
semakin menajam justru ketika Amerika dipimpin Obama yang lebih moderat dari
Bush.
Perkembangan beruntun di Amerika Latin tersebut tentu saja mencemaskan Amerika,
meski sebagai negara kecil tidak perlu dikhawatirkan secara kemiliteran. Namun
ketika negara-negara tersebut tidak lagi kooperatif baik secara politik maupun
ekonomi, jelas hal ini sangatlah mengganggu.
Apalagi ketika hal itu kemudian memicu kedekatan negara-negara latin tersebut
kepada Cina, Rusia, Korea Utara, Iran dan lain sebagainya.
Skenario Kosovo untuk Papua Merdeka
Ini bukan rumor ini bukan gosip. Sebuah sumber di lingkungan Departemen Luar
Negeri mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari
Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu
proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap.
Menarik juga informasi ini jika benar. Karena dengan tampilnya Presiden Barrack
Obama di tahta kepresidenan Gedung Putih, praktis politik luar negeri Amerika
amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal
hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi
Demokrat yang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya
memang akan diberi angin.
Beberapa fakta lapangan mendukung informasi sumber kami di Departemen Luar
Negeri tersebut. Betapa tidak. Dalam dua bulan terakhir ini, US House of
Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan
rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yahg secara spesifik memuat
referensi khusus mengenai Papua.
Undang-Undang Foreign Relation Authorization Act (FRAA) Pintu Masuk Menuju
Papua Merdeka
Kalau RUU FRAA ini lolos di kongres Amerika, maka Amerika akan menindaklanjuti
UU FRAA ini melalui serangkaian operasi politik dan diplomasi yang target
akhirnya adalah meyakinkan pihak Indonesia untuk melepaskan, atau setidaknya
mengkondisikan adanya otonomi khusus bagi Papua, untuk selanjutnya memberi
kesempatan kepada warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Skenario semacam ini jelasnya sangat berbahaya dari segi keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan sialnya kita juga lemah di fron
diplomasi maupun fron intelijen. Padahal, skema di balik dukungan Obama dan
Demokrat melalui UU FRAA, justru diplomasi dan intelijen menjadi strategi dan
sarana yang dimainkan Washington untuk menggolkan kemerdekaan Papua.
Karena itu, kita harus mewaspadai beberapa kasus kerusuhan yang meletus di
Papua, bahkan ketika pemilihan presiden 8 Juli 2009 lalu sedang berlangsung.
Mari kita kilas balik barang sejenak. 13 Mei 2009, terjadi provokasi paling
dramatis, ketika beberapa elemen OPM menguasai lapangan terbang perintis
Kapeso, Memberamo, yang dipimpin oleh disertir tentara, Decky Embiri. Meski
demikian, berkat kesigapan aparat TNI, pada 20 Juni 2009 berhasil dipukul
mundur.
Namun provokasi OPM nampaknya tidak sampai di situ saja. 24 Juni 2009, OPM
menyerang konvoi kendaraan polisi menuju Pos Polisi Tingginambut. Konvoi
diserang di kampung Kanoba, Puncak Senyum, Distrik Tingginambut, Kabupaten
Puncak Jaya. Anehnya, kejadian ini hanya 50 meter dari pos milik TNI.
Dalam kejadian di Tingginambut ini, seorang anggota Brimob Polda Papua tewas
tertembak. Singkat cerita, inilah sekelumit kisah bagaimana sepanjang tahun
2009 ini OPM telah melakukan penyerangan di kawasan Tingginambut hingga tujuh
kali serangan.
Jika kita cermati melalui manuver politik politisi Demokrat menggolkan RUU FRAA
di Washington dengan kejadian kerusuhan berantai di Papua, bisa dipastikan
kedua kejadian tersebut berkaitan satu sama lain.
Dalam teori operasi intelijen, serentetan kerusuhan yang dipicu oleh OPM dengan
memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain untuk menciptakan suasana
chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara TNI-Polri dan OPM yang
dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.
Skenario semacam ini sebenarnya bukan jurus baru bagi Amerika mengingat hal ini
sudah dilakukan mantan Presiden Bill Clinton ketika mendukung gerakan Kosovo
merdeka lepas dari Serbia, dan bahkan juga mendukung terbentuknya Kosovo
Liberation Army (KLA).
Seperti halnya ketika Clinton mendukung KLA, Obama sekarang nampaknya hendak
mencitrakan OPM sebagai entitas politik yang masih eksis di Papua dengan adanya
serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh OPM sepanjang 2009 ini.
Lucunya, beberapa elemen LSM asing di Papua, akan menyorot setiap serangan
balasan TNI dan Polri terhadap ulah OPM memicu kerusuhan, sebagai tindakan
melanggar HAM.
Tapi sebenarnya ini skenario kuno yang mana aparat intelijen kita seperti BIN
maupun BAIS seharusnya sudah tahu hal akan dimainkan Amerika ketika Obama yang
kebetulan sama-sama dari partai Demokrat, tampil terpilih sebagai Presiden
Amerika.
Isu-isu HAM, memang menjadi ”jualan politik” Amerika mendukung kemerdekaan
Papua. Karena melalui sarana itu pula Washington akan memiliki dalih untuk
mengintervensi penyelesaian internal konflik di Papua.
Di sinilah sisi rawan UU FRAA jika nantinya lolos di kongres. Sebab dalam salah
satu klausulnya, mengharuskan Departemen Luar Negeri Amerika melaporkan kepada
kongres Amerika terkait pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua.
Bisa jadi inilah salah satu kesepakatan diam-diam antara Obama dan LSM-LSM pro
OPM ketika pri alumni Fakultas Hukum Universitas Harvard ini masih menjadi
calon presiden. Jika memang benar, Obama berada dalam tekanan kuat untuk
mendukung agenda ini lolos di kongres.
Pelanggaran HAM memang harus diakui menjadi isu sentral yang diangkat beberapa
LSM pro OPM. Misalnya saja West Papua People’s Representative and OPM. Kelompok
ini selain mengembangkan website wpik.org, menurut berbagai sumber juga mendapat
dana dari sejumlah perusahaan asing.
Meski OPM belum sekuat GAM Aceh dalam menancapkan pengaruh-pengaruhnya di
kalangan elit dan kelompok-kelompok basis di Papua, namun lobi-lobi OPM dengan
dukungan beberapa LSM asing memang tidak sekali-kali untuk diremehkan.
20 Juli 2005 lalu misalnya, berhasil meloloskan sebuah draft RUU yang salah
satu klausulnya, mempertanyakan kembali keabsahan Pepera (Penentuan Pendapat
Rakyat) dalam mendukung kemerdekaan Papua. Sekaligus juga mengkritik
pelaksanaan otonomi khusus di Papua.
RUU yang kelak dikenal dengan HR (House of Representatives) 2601 itu, akhirnya
sempat beredar dua versi informasi. Yang pertama mengatakan telah dicabut
karena mengagendakan Papua sekarang ini sudah tidak relevan lagi sehingga tidak
akan menjadi hukum. Adapun versi kedua justru masih beranggapan RUU yang
membahas penelitian ulang atas proses masuknya Papua ke Indonesia sampai
sekarang belum dibatalkan.
Sebaiknya kita di Indonesia lebih mempercayai versi kedua ini. Mengingat versi
ini justru disampaikan oleh Ketua Sub-komisi Asia-Pasifik dalam komisi Hubungan
Luar Negeri Kongres Amerika.
Dan yang harus lebih diwaspadai lagi, HR2601 tersebut lingkupnya juga bisa
mencakup semua kasus dan isu serupa yang terjadi di dunia. Meskipun bisa-bisa
saja yang menyatakan secara eksplisit kasus Papua Barat sudah dihapuskan. Namun
secara substansial, kasus Papua tetap saja dalam pantauan dan penelitian para
anggota kongres Partai Demokrat.
Beberapa Sosok Asing di balik Gerakan Pro Papua Merdeka
Salah satu sosok yang harus dicermati adalah Eni Faleomavaega, Ketua Black
Caucuses Amerika yang mengkampanyekan Irian Jaya sebagai koloni VOC bukan
koloni Belanda di Kongres Amerika. Kabarnya, perwakilan Partai Demokrat dari
American Samoa ini memimpin sekitar 38 anggota Black Caucuses yang mengklaim
bahwa cepat atau lambat Papua akan merdeka.
Pengaruh tokoh satu ini ternyata tidak bisa dianggap enteng. Pada 2002, tak
kurang dari Departemen Luar Negeri AS terpaksa mengeluarkan menerbitkan Buku
Putih Deplu tentang Papua pada 2002. Disebutkan bahwa Irian Jaya masuk
Indonesia pada 1826. Sementara Pepera merupakan pengesahan atau legalitas
masuknya Irian Jaya ke NKRI pada 1969.
Bayangkan saja, Departemen Luar Negeri AS sampai harus meladeni seorang anggota
parlemen seperti Eni Faleomavaega. Dan ternyata manuver Eni tidak sebatas di
Amerika saja. Melalui LSM yang dia bentuk, Robert Kennedy Memorial Human Right
Center, Eni dan 9 orang temannya dari Partai Demokrat, melakukan tekanan
terhadap Perdana Menteri John Howard, agar memberi perlindungan terhadap 43
warga Papua yang mencari suaka di di Australia. Alasannya, mereka ini telah
menjadi korban pelanggaran HAM TNI.
Di Australia, Bob Brown, politisi Partai Hijau Australia, juga santer mendukung
gerakan pro Papua Merdeka, dengan mendesak pemerintahan Howard ketika itu untuk
mendukung proses kemerdekaan Papua. Tentu saja usul gila-gilaan itu ditampik
Howard, namun sebagai kompensasi, pemerintah Australia memberikan visa
sementara kepada 42 pencari suaka asal Papua.
Tentu saja hubungan diplomatik Australia-RI jadi memanas, apalagi berkembang
isu ketika itu bahwa ke-43 warga Papua cari suaka ke Australia itu sebenarnya
merupakan “agen-agen binaan” Australia yang memang akan ditarik mundur kembali
ke Australia. Artinya, permintaan suaka itu hanya alasan saja agar mereka tidak
lagi bertugas menjalankan operasi intelijen di Papua. Mungkin kedoknya sebagai
jaringan intelijen asing di Papua, sudah terbongkar kedoknya oleh pihak
intelijen Indonesia.
Dan isyarat ini secara gamblang dinyatakan oleh Menteri Koordinator Politik,
Hukum dan Keamanan Widodo AS. Menurut Widodo, pemberian visa sementara kepada
warga Papua oleh Australia, telah membenarkan adanya spekulasi adanya
elemen-elemen di Australia yang membantu usaha kemerdekaan Papua.
Menurut penulis, dan kami-kami di Global Future Institute, pernyataan Widodo
sebenarnya sebuah sindiran atau serangan halus terhadap gerakan asing pro Papua
merdeka. Bahwa yang sebenarnya bukan sekadar adanya elemen-elemen di Australia
yang membantu kemerdekaan Papua, tapi memang ada suatu operasi intelijen dengan
target utama adanya Papua Merdeka terpisah dari NKRI.
Selain Amerika dan Australia, manuver Papua Merdeka di Inggris kiranya juga
harus dicermati secara intensif. 15 Oktober 2008, telah diluncurkan apa yang
dinamakan International Parliaments for West Papua (IPWP) di House of Commons,
atau DPR-nya Kerajaan Inggris.
Misi IPWP tiada lain kecuali mengangkat masalah Papua di fora internasional.
Meski tidak mewakili negara ataupun parlemen suatu negara, namun sepak-terjang
IPWP tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab IPWP bisa menjadi kekuatan penekan
agar digelar referendum di Papua, penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan
pasukan perdamaian di Papua di bawah pengawasan PBB.
Jelaslah sudah ini sebuah agenda berdasarkan skema Kosovo merdeka. Apalagi
ketika IPWP juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali peranan PBB dalam
pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969, sekaligus mengirim
peninjau khusus PBB untuk memantau situasi HAM di Papua.
Agar kita sebagai elemen bangsa yang tidak ingin kehilangan provinsi yang kedua
kali setelah Timor Timur, ada baiknya kita mencermati skenario Kosovo merdeka.
Kosovo terpisah dari negara bagian Serbia pada 17 Februari 2008. Dengan
didahului adanya tuduhan pelanggaran HAM di provinsi Kosovo. Papua Barat
dianggap mempunyai kesamaan latarbelakang dengan Kosovo. Yaitu, Indonesia dan
Serbia dipandang punya track record buruk pelanggaran HAM terhadap rakyatnya.
Sehingga mereka mengembangkan isu bahwa Kosovo perlu mendapat dukungan
internasional. Inilah yang kemudian PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan
PBB 244 .
Seperti halnya juga dengan Kosovo yang memiliki nilai strategis dalam
geopolitik di mata Amerika dan Inggris, untuk menghadapi pesaing globalnya,
Rusia. Begitu pula di Papua, ketika perusahaan tambang Amerika Freeport dan
perusahaan LNG Inggris, merupakan dua aset ekonomi mereka untuk mengeruk habis
kekayaan alam di bumi Papua. Sekaligus untuk strategi pembendungan AS terhadap
pengaruh Cina di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.
Balkanisasi Nusantara
1.Indonesia ada rencana hendak dibelah dengan memakai model Polinesia (negara
pulau) di Lautan Pasifik. Sehingga mulai beredar pengguliran Isu Negara Timor
Raya di Provinsi Nusa Tenggara Timur mulai santer terdengar.
2. Indonesia akan dibelah jadi tiga negara dengan berdasar pada klasifikasi
provinsi ekonomi kuat dengan rincian sebagai berikut:
A. Aceh, Riau dan United Borneao(Kalimantan).
B. Pusat wisata dan seni dunia semacam Bali, Flores, Maluku dan Manado,
C. Jawa, Sunda dan Daerah Khusus Jakarta.
MODUS OPERANDI
Dengan melihat perkembangan terkini berdasarkan prakarsa dua anggota Kongres AS
untuk menggolkan seruan resolusi agar Baluchistan diberi hak sejarah menentukan
nasib sendiri dan negara sendiri, lepas dari Pakistan, maka Global Future
Institute merasa perlu mengingatkan kemungkinan langkah langkah dua tahap yang
akan ditempuh Amerika Serikat dan Sekutu-sekutu Eropanya:
1. Melakukan Internasionalisasi Isu Provinsi yang bermaksud ingin merdeka dan
lepas dari negara induknya. Keberhasilan prakarsa dua anggota Kongres AS
menggolkan resolusi Baluchistan, bisa jadi preseden bagi langkah serupa
terhadap Papua.
2. Seiring dengan keberhasilan gerakan meng-internasionalisasi provinsi yang
diproyeksikan akan jadi merdeka, maka REFERENDUM kemudian dijadikan pola dan
modus operandi memerdekakan sebuah provinsi dan lepas dari negara induk.
Demikian, semoga menjadi perhatian dan kewaspadaan semua elemen bangsa, dan pemegang
otoritas pemerintahan.
No comments:
Post a Comment