Wednesday, 2 October 2013

Amelia, Perawat di Perbatasan Indonesia

ilustrasi : AntaraAmelia Womsior melampaui tugasnya sebagai perawat. Dia kadang bertugas sebagai bidan dan dokter. Melayani warga di daerah terpencil mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun komitmennya yang  tinggi membantu sesama, belum diganjar pemerintah dengan gaji memadai. KBR68H menemui Amelia di sela-sela kesibukannya  di perbatasan Papua-Papua Nugini.
John Gobay, 29 tahun, terbaring  menahan sakit di kursi kayu ruang rawat Puskemas Skouw, perbatasan Indonesia-Papua Nugini di Kota Jayapura, Papua. Mobil yang ditumpangi anggota keluarganya  baru saja terguling saat menikung di jalan sepi. Di Minggu sore itu ia tengah berlibur bersama keluarganya. Meski hari libur untung  masih ada puskesmas yang tetap beroperasi.
John mengalami luka di siku kanan. Amelia Womsior mengobati lukanya dan memeriksa tekanan darah. Tak ada yang mengkhawatirkan. “Menurut pemantauan masih normal. Tekanan darah, dan tanda-tanda vital yang menyertai masih dalam batas normal. Nah, karena butuh istirahat, pergelangan tangannya hanya sedikit terjepit, jadi susah untuk digerakkan. Jadi, untuk sementara, kita observasi tanda-tanda vitalnya dulu, keadaan umumnya bagus. Baik. Untuk kondisi seperti ini, butuh satu jam kita pantau tanda-tanda vitalnya. Karena kondisi keadaan umumnya baik, satu, dua, tiga jam sudah boleh pulang. Tapi kalau kondisinya sudah tidak sadar, itu semestinya kami pantau, setelah kami lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dalam keadaan tidak sadar, kami harus rujuk ke Rumah Sakit Terdekat. Kalau RS Abepura, itu perjalanan satu jam,” kata Amelia.
Amelia bukanlah dokter. Perempuan berperawakan kurus ini hanya perawat  yang bertugas sukarela menjaga Puskesmas Skouw selama 24 jam.
Persalinan di Hutan
Jumlahnya lebih dari 30 orang. Terdiri dari perawat, dokter, bidan, dan pegawai apotik serta administrasi. Setelah memastikan tak ada luka serius ditubuh korban kecelakaan, Amelia kembali ke rumahnya di belakang Puskesmas.
Sebenarnya Amelia bukan penduduk asli  Kampung Skouw.  Ia besar dan lahir di Kabupaten Biak, jaraknya  1000 kilometer dari kampung tersebut.  Orangtua tunggal satu anak ini kuliah di Politeknik Kesehatan jurusan Keperawatan di Jayapura pada 1998. Setelah lulus, beberapa kali terlibat dalam pendampingan kesehatan masyarakat di berbagai puskesmas . Mulai 2004, ia memutuskan menjadi perawat yang rela bekerja 24 jam. Ia terpanggil karena prihatin dengan anggota keluarga yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang cepat dan baik.
“Ada dari keluarga sendiri yang sering sakit. Ada juga yang ketabrak, tapi tidak ditangani dengan baik. Itu saya alami di keluarga. Saya melihat sendiri keluarga saya berobat dan harus menunggu, dan bagaimana penanganan medis terhadap keluarga, ada yang kurang menyenangkan. Dan, itu menjadi motivasi saya untuk ada di bidang ini. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya, tapi juga memenuhi orang yang membutuhkan,”ungkapnya.
Amelia juga sempat membantu persalinan warga. “Waktu itu saya bantunya di hutan. Cukup jauh dari rumah. Jam 5 pagi, keluarganya jemput di rumah, terus kita sampai di sana, ternyata ibunya ini sudah masuk di hutan. Jadi melahirkannya di hutan. Lalu, saya tenteng semua peralatan. Saya masuk ke hutan, dan saya bantunya di hutan. Pas saya bantu, bayi sudah lahir dan ibunya sudah shock. Pingsan. Jadi waktu itu pas libur. Tak ada kendaraan, motor dan mobil tak ada,” kenangnya.
Pintu rumah Amelia terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan bantuan. Termasuk Sahruddin, anggota TNI yang kerap terkena malaria saat  bertugas di perbatasan.  “Kalau di sini sudah langganan. Itu tanya Ibu suster. Jadi kalau saya ke sini periksa darah. Ibu suster bilang, malaria, ya sudah, infus. Mudah-mudahan jangan lagi. Mudah-mudahan kebal sudah. Pertama datang ke sini, itu hampir tiap minggu kena,” jelasnya.
Meski pengabdian dan komitmennya membantu sesama sangat tinggi, tapi gaji  yang diperoleh Amelia relatif kecil.  Hanya Rp 2 juta per bulan. Jumlah itu masih jauh dari cukup, mengingat biaya hidup di Papua bisa mencapai 3 kali lipat dibanding  Jakarta.

No comments:

Post a Comment