Amelia Womsior melampaui tugasnya sebagai perawat.
Dia kadang bertugas sebagai bidan dan dokter. Melayani warga di daerah
terpencil mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun komitmennya yang
tinggi membantu sesama, belum diganjar pemerintah dengan gaji memadai.
KBR68H menemui Amelia di sela-sela kesibukannya di perbatasan
Papua-Papua Nugini.
John Gobay, 29 tahun, terbaring menahan sakit di kursi kayu ruang
rawat Puskemas Skouw, perbatasan Indonesia-Papua Nugini di Kota
Jayapura, Papua. Mobil yang ditumpangi anggota keluarganya baru saja
terguling saat menikung di jalan sepi. Di Minggu sore itu ia tengah
berlibur bersama keluarganya. Meski hari libur untung masih ada
puskesmas yang tetap beroperasi.
John mengalami luka di siku kanan. Amelia Womsior mengobati lukanya
dan memeriksa tekanan darah. Tak ada yang mengkhawatirkan. “Menurut
pemantauan masih normal. Tekanan darah, dan tanda-tanda vital yang
menyertai masih dalam batas normal. Nah, karena butuh istirahat,
pergelangan tangannya hanya sedikit terjepit, jadi susah untuk
digerakkan. Jadi, untuk sementara, kita observasi tanda-tanda vitalnya
dulu, keadaan umumnya bagus. Baik. Untuk kondisi seperti ini, butuh satu
jam kita pantau tanda-tanda vitalnya. Karena kondisi keadaan umumnya
baik, satu, dua, tiga jam sudah boleh pulang. Tapi kalau kondisinya
sudah tidak sadar, itu semestinya kami pantau, setelah kami lakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital dalam keadaan tidak sadar, kami harus
rujuk ke Rumah Sakit Terdekat. Kalau RS Abepura, itu perjalanan satu
jam,” kata Amelia.
Amelia bukanlah dokter. Perempuan berperawakan kurus ini hanya
perawat yang bertugas sukarela menjaga Puskesmas Skouw selama 24 jam.
Persalinan di Hutan
Jumlahnya lebih dari 30 orang. Terdiri dari perawat, dokter, bidan,
dan pegawai apotik serta administrasi. Setelah memastikan tak ada luka
serius ditubuh korban kecelakaan, Amelia kembali ke rumahnya di belakang
Puskesmas.
Sebenarnya Amelia bukan penduduk asli Kampung Skouw. Ia besar dan
lahir di Kabupaten Biak, jaraknya 1000 kilometer dari kampung
tersebut. Orangtua tunggal satu anak ini kuliah di Politeknik Kesehatan
jurusan Keperawatan di Jayapura pada 1998. Setelah lulus, beberapa kali
terlibat dalam pendampingan kesehatan masyarakat di berbagai puskesmas .
Mulai 2004, ia memutuskan menjadi perawat yang rela bekerja 24 jam. Ia
terpanggil karena prihatin dengan anggota keluarga yang tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang cepat dan baik.
“Ada dari keluarga sendiri yang sering sakit. Ada juga yang ketabrak,
tapi tidak ditangani dengan baik. Itu saya alami di keluarga. Saya
melihat sendiri keluarga saya berobat dan harus menunggu, dan bagaimana
penanganan medis terhadap keluarga, ada yang kurang menyenangkan. Dan,
itu menjadi motivasi saya untuk ada di bidang ini. Untuk memenuhi
kebutuhan keluarga saya, tapi juga memenuhi orang yang
membutuhkan,”ungkapnya.
Amelia juga sempat membantu persalinan warga. “Waktu itu saya
bantunya di hutan. Cukup jauh dari rumah. Jam 5 pagi, keluarganya jemput
di rumah, terus kita sampai di sana, ternyata ibunya ini sudah masuk di
hutan. Jadi melahirkannya di hutan. Lalu, saya tenteng semua peralatan.
Saya masuk ke hutan, dan saya bantunya di hutan. Pas saya bantu, bayi
sudah lahir dan ibunya sudah shock. Pingsan. Jadi waktu itu pas libur.
Tak ada kendaraan, motor dan mobil tak ada,” kenangnya.
Pintu rumah Amelia terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan bantuan.
Termasuk Sahruddin, anggota TNI yang kerap terkena malaria saat
bertugas di perbatasan. “Kalau di sini sudah langganan. Itu tanya Ibu
suster. Jadi kalau saya ke sini periksa darah. Ibu suster bilang,
malaria, ya sudah, infus. Mudah-mudahan jangan lagi. Mudah-mudahan kebal
sudah. Pertama datang ke sini, itu hampir tiap minggu kena,” jelasnya.
Meski pengabdian dan komitmennya membantu sesama sangat tinggi, tapi
gaji yang diperoleh Amelia relatif kecil. Hanya Rp 2 juta per bulan.
Jumlah itu masih jauh dari cukup, mengingat biaya hidup di Papua bisa
mencapai 3 kali lipat dibanding Jakarta.
No comments:
Post a Comment